Mentari Bawa Terang di Bisesmus
September 9, 2024Rumah Herbal Cahaya Bonibais
September 16, 2024Sinergi Bersama Mitra BFDW Menuju Ending AIDS 2030
Target Three Zero yang ditetapkan oleh pemerintah tidak akan bisa dicapai tanpa sinergi dengan berbagai pihak dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS. Terlebih pasca Pandemi Covid-19 yang terjadi selama kurang lebih dua tahun yang memunculkan tantangan tersendiri terhadap pencapaian target tersebut. Organisasi Masyarakat Sipil menjadi salah satu komponen yang dapat berkontribusi dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS sesuai dengan peran masing-masing. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah penguatan kemitraan dan peran serta lintas sektor.
UPKM/CD Bethesda YAKKUM melalui Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta berfokus pada upaya advokasi kebijakan dan anggaran serta peningkatan kapasitas bagi beberapa pihak dengan pendanaan dari Brot Fuer Die Welt (BfdW). Salah satu target advokasi yang dilaksanakan dalam program ini adalah perlunya sinergi bersama Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Mitra BfdW untuk merumuskan rencana aksi bersama program penanggulangan HIV dan AIDS pasca pandemi Covid-19.
Sebagai upaya merumuskan rencana aksi bersama tersebut dilakukan melalui Workshop Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS bagi Mitra BfdW pada tanggal 1-3 Agustus 2023. Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Arjuna Yogyakarta tersebut dihadiri oleh perwakilan tujuh lembaga mitra BfdW dari DIY, Bali, Sumatera Utara, NTT dan Kalimantan Barat. Peserta yang hadir dalam kegiatan adalah lembaga Mitra BfdW (UPKM/CD Bethesda YAKKUM, Yayasan Ate Keleng, Yayasan Maha Bhoga Marga, Sanggar Suara Perempuan, PKMD Bethesda Serukam, SHEEP, Yayasan Kebaya Yogyakarta) dan Mitra Dampingan (SUPER Alor, KDS Moris Foun Belu, WPA Kelurahan Bener).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih menjadi salah satu perhatian dunia dan menjadi prioritas untuk segera dieliminasi. Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan memasukkan HIV dan AIDS dalam indikator tujuan butir 3 yaitu memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua orang. Indikatornya, pada tahun 2030 mengakhiri epidemi AIDS, Tuberkulosis, Malaria, dan penyakit kronis lainnya. Perlu upaya khusus untuk memutus rantai transmisi HIV sehingga kasus baru tidak terjadi dan penanganan terhadap mereka yang sudah terinfeksi agar tidak terjadi kematian karena AIDS serta meningkatkan kualitas hidup orang yang hidup dengan HIV.
Selama pandemi Covid-19 melanda, program penanggulangan HIV dan AIDS termasuk menanggung dampak nyata, antara lain menyangkut ketersediaan ARV, akses ARV bagi ODHIV, transmisi Covid-19 ke ODHIV, serta alokasi anggaran untuk program HIV dan AIDS yang dialihkan untuk mengatasi Covid-19. Pelayanan ARV berdasarkan ketentuan, idealnya diberikan sebulan sekali untuk mengurangi kedatangan ODHIV ke rumah sakit di masa pandemi. Begitupun dengan akses layanan kesehatan lainnya bagi ODHIV diberlakukan protokol kesehatan untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. Namun, nyatanya sempat terjadi keterbatasan ketersediaan ARV karena pengiriman yang tidak tepat waktu akibat penutupan layanan transportasi dari negara pemasok.
Penularan Covid-19 juga menjadi perhatian khusus bagi ODHIV sebab mereka merupakan bagian dari kelompok yang rentan akibat kekebalan tubuhnya menurun karena adanya infeksi HIV. Para ahli menyebutkan Covid-19 dapat menimbulkan komplikasi berat pada pasien yang fungsi kekebalan tubuhnya menurun, apalagi jikalau ODHIV tidak minum ARV secara rutin yang mengakibatkan jumlah virus meningkat dan sel darah putih (CD4) rendah. Di sisi lain, banyak anggaran pemerintah, termasuk untuk program HIV dan AIDS, yang dipotong atau dialihkan untuk penanggulangan Covid -19.
Dua tahun pasca pandemi Covid-19 terjadi, Pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada 30 Desember 2022 yang tertuang dalam Instruksi Mendagri Nomor 50 dan 51 Tahun 2022. Keputusan ini diambil karena Indonesia termasuk negara yang berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 dengan baik termasuk menjaga stabilitas ekonominya. Pasca pencabutan kebijakan PPKM tersebut, menjadi waktu yang tepat untuk kembali memperjuangkan upaya penanggulangan HIV yang sempat terhambat. Advokasi perlu terus dilakukan agar pemerintah terus mengupayakan kebijakan dan anggaran yang semakin mendukung percepatan pencapaian target Three Zero di tahun 2030.
Target Three Zero merupakan kebijakan yang ditetapkan untuk meniadakan kasus baru HIV, meniadakan kasus kematian karena AIDS serta menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV. Target Three Zero di tahun 2030 tentunya tidak dapat dicapai hanya oleh Dinas Kesehatan saja, tetapi membutuhkan keterlibatan lintas sektor. Kebijakan terkait keterlibatan lintas sektor ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Penanggulangan HIV, AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
Satu strategi nasional yang ditetapkan dalam Permenkes tersebut adalah penguatan, peningkatan dan pengembangan kemitraan dan peran serta lintas sektor, swasta, organisasi kemasyarakatan/komunitas, masyarakat dan pemangku kepentingan terkait. Workshop Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS bagi Mitra BfdW yang dilaksanakan oleh UPKM/CD Bethesda YAKKUM harapannya menjadi salah satu kegiatan yang dapat berkontribusi dalam peningkatan peran serta lintas sektor untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Ada tiga tujuan workshop antara lain memberikan pemahaman kepada peserta tentang strategi dan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS pasca pandemi Covid-19; memberikan pemahaman kepada peserta tentang strategi penanggulangan HIV dan AIDS dalam rangka sinergi dan kolaborasi dengan pemerintah; memberikan pemahaman kepada peserta tentang pembelajaran baik program penanggulangan HIV dan AIDS berbasis masyarakat yang dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu; dan melakukan rumusan strategi penanggulangan HIV dan AIDS dalam rangka percepatan pencapaian target Three Zero di tahun 2030.
Proses workshop diawali dengan opening ceremony yang terdiri dari Pengantar Kegiatan oleh Direktur UPKM/CD Bethesda YAKKUM dan Sambutan Pembukaan oleh Wakil Gubernur DIY selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DIY. Direktur UPKM/CD Bethesda YAKKUM (Wahyu Priyo Saptono, S.Pd., MPD) dalam pengantarnya menyampaikan tujuan diselenggarakannya workshop dan gambaran umum agenda kegiatan selama tiga hari yang akan dilakukan. Proses selama tiga hari yang dilakukan juga akan menghadirkan pengalaman langsung dari mitra yang terlibat dalam program HIV yang dilaksanakan oleh UPKM/CD Bethesda YAKKUM. Mitra-mitra BfdW akan melakukan sharing juga upaya yang sudah mereka lakukan di daerah masing-masing, dan harapannya dapat dikembangkan satu strategi bersama untuk penanggulangan HIV dan AIDS.
Sambutan Wakil Gubernur DIY disampaikan oleh M. Agus Priyanto, SKM., M.Kes selaku Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan DIY. Setelah membacakan Sambutan Wakil Gubernur DIY, Agus Priyanto menyampaikan kondisi penanggulangan HIV dan AIDS di DIY secara umum. Pemerintah Provinsi DIY saat ini masih rutin mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan kesehatan bagi ODHIV khusus bagi penduduk DIY. Selain itu, sinergi antara program HIV dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KTPA) sudah terbangun cukup bagus untuk lebih banyak melayani ODHIV yang mengalami kekerasan. Di sisi lain, sudah banyak puskesmas yang melakukan inovasi untuk layanan HIV sehingga memungkinkan aksesibilitas layanan meningkat, dan pasca pandemi Covid-19 sebagian besar puskesmas sudah mengoptimalkan lagi layanan yang semula dibatasi.
Agenda workshop hari kedua diawali dengan paparan materi oleh dua orang narasumber dari Kementrian Kesehatan RI dan Yayasan Kerti Praja (YKP). Materi pertama adalah Strategi dan Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS Pasca Pandemi Covid-19 yang disampaikan oleh dr. Endang Lukitosari, MPH dari Kementrian Kesehatan RI. Dalam materinya narasumber menyampaikan tentang kondisi penanggulangan HIV dan AIDS pasca pandemi Covid-19. Tren infeksi infeksi baru HIV sejak tahun 2010 sampai sekarang mengalami penurunan, diperkirakan sampai 2030 juga masih menurun. Peningkatan kasus paling tinggi terjadi pada LSL dan female non populasi (ibu rumah tangga). Tren temuan kasus baru HIV di tingkat global paling banyak di Afrika dan Sahara, tetapi pola penyebaran lebih banyak pada populasi non kunci, pelanggan pekerja seks dan pekerja seks. Sedangkan di Asia Tenggara, temuan kasus baru HIV didominasi oleh LSL dan pelanggan seks. Di Indonesia, sebaran HIV terutama pada daerah dengan populasi banyak penduduk. Pola penyebaran HIV secara umum paling banyak pada LSL, wanita pekerja seks dan populasi risiko tertentu. Kecuali di Papua, HIV lebih banyak ditemukan pada populasi umum.
Meskipun temuan kasus baru HIV di Indonesia sudah menunjukkan penurunan, namun tidak diimbangi dengan angka kematian akibat AIDS yang masih mengalami peningkatan. Strategi RPJMN tahun 2020-2024, Indonesia masih banyak fokus pada kematian ibu dan bayi, imunisasi serta stunting. Sedangkan untuk strategi penanggulangan HIV masih mengacu pada komitmen global, yaitu Three Zero di tahun 2030. Strategi yang diterapkan adalah mendeteksi populasi rentan dan kunci untuk Tes HIV, segera obati, pertahankan pengobatan, dan virus tersupresi dengan tes viral load. Startegi pengendalian HIV, perlu pelibatan dari semua pihak karena ada komitmen pembiayaan, kebutuhan SDM yang berkualitas, dan peningkatan akses layanan agar semakin mudah dijangkau oleh populasi rentan.
Materi kedua adalah Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS - Sinergi dan Kolaborasi dengan Pemerintah yang disampaikan oleh dr. Ni Luh Putu Ari Astuti dari YKP. Dalam materinya narasumber menyampaikan tentang pengalaman YKP dalam memberikan pelayanan kepada ODHIV dan Populasi Kunci termasuk strategi kolaborasi dengan pemerintah. Konsep layanan di YKP adalah Primary Health Care (PHC) berupa integrasi layanan satu pintu agar populasi kunci mendapatkan layanan yang komprehensif di satu tempat. Program yang dikembangkan tidak hanya HIV saja tetapi juga kesehatan masyarakat secara luas.
Dasar kegiatan YKP adalah penelitian, klinik dan program kesehatan masyarakat. Beberapa program dilaksanakan dengan pendanaan dari Global Fund untuk area intervensi prioritas. Salah satu program yang dikembangkan saat ini adalah community based screening dari Kementrian Kesehatan untuk peningkatan cakupan populasi kunci yang melakukan tes HIV dengan Oral Fluid Test. Klinik di YKP memang didesain untuk populasi kunci, agar mereka dapat mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan dengan mudah, nyaman dan non diskriminatif.
Proses workshop selanjutnya adalah sesi sharing Pembelajaran Baik Program Pengendalian HIV dan AIDS Berbasis Masyarakat yang dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu dengan tiga orang narasumber dari Yayasan Kebaya Yogyakarta, Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Moris Foun Belu NTT dan Warga Peduli AIDS (WPA) Kelurahan Bener Kota Yogyakarta. Materi pertama disampaikan oleh Rully Mallay dari Yayasan Kebaya Yogyakarta yang menyampaikan tentang gambaran lembaga secara umum, isu prioritas, kegiatan yang dilakukan dengan pendanaan BfdW serta sinergi kegiatan dengan UPKM/CD Bethesda YAKKUM dan OMS lain di DIY.
Beberapa isu yang mendasari program di Yayasan Kebaya Yogyakarta adalah lingkungan hidup, kebencanaan, kesehatan reproduksi, gender, HIV dan lansia. Kegiatan yang dilakukan antara lain pendampingan, pertemuan rutin melalui KDS violet, kredit union, koperasi komunitas, pembuatan film dokumenter, ikut serta dalam kegiatan kemitraan dan kebaktian untuk teman-teman non muslim. Pendampingan khusus dari UPKM/CD Bethesda YAKKUM antara lain penguatan kapasitas organisasi, pendampingan advokasi kesehatan dan dokumen kependudukan, pelatihan pijat, pelatihan herbal, pelatihan pengolahan pangan lokal, serta edukasi yang dilakukan pada shelter. Setelah beberapa waktu bersinergi dengan UPKM/CD Bethesda YAKKUM, akhirnya tahun ini Yayasan Kebaya Yogyakarta mendapat pendanaan langsung dari BfdW. Tantangan yang dihadapi tidak hanya birokrasi, tapi stigma diskriminasi sterotype dan menimbulkan kekerasan berbasis gender.
Materi sharing kedua disampaikan oleh Budi Kusuma Pello dari KDS Moris Foun Belu yang menyampaikan tentang kegiatan yang dilakukan. Tujuan KDS adalah memotivasi ODHIV agar patuh dalam pengobatan serta memberdayakan ODHIV supaya mandiri tanpa tergantung orang lain. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh KDS Moris Foun Belu adalah advokasi hak-hak dasar ODHIV kepada para pemangku kebijakan, pelatihan untuk membangun kepercayaan diri dan open status, melakukan testimoni kepada mahasiswa, kunjungan rumah serta advokasi dengan legislatif maupun eksekutif untuk memperjuangkan layanan kesehatan. Salah satu advokasi yang dilakukan adalah dialog dengan Wakil Bupati dan Ketua DPRD serta siaran pers bersama penyampaian informasi dan meningkatkan awareness masyarakat.
Materi sharing ketiga disampaikan oleh Natalita Indriyati dari WPA Kelurahan Bener yang menyampaika kegiatan WPA untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Kegiatan WPA yang utama adalah edukasi kepada masyarakat, sedangkan untuk pendampingan ODHIV belum dilakukan secara spesifik. Awalnya WPA mendapatkan pelatihan HIV dan AIDS, public speaking, komunikasi antar pribadi, yang menjadi bekal untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. WPA Bener melakukan edukasi kepada ibu PKK serta tokoh masyarakat untuk meningkatkan kepedulian mereka terhadap HIV dan AIDS. WPA juga mendapatkan pelatihan ketrampilan pembuatan sabun, pijat, herbal dan pengolahan sampah. Pendanaan untuk isu HIV dan AIDS masih terbatas, kedekatan dengan Lurah menjadi salah satu kunci untuk melakukan advokasi anggaran.
Workshop hari ketiga dibuka dengan sesi study exposure ke Puskesmas Gedongtengen dan Yayasan Kebaya Yogyakarta. Pada sesi ini peserta diberikan gambaran tentang layanan di Puskesmas Gedongtengen, meliputi : latar belakang penunjukan layanan, jumlah klien ditemukan HIV positif, jumlah klien on ART dan kegiatan yang dilakukan secara rutin. Peserta juga diberikan gambaran tentang strategi yang dikembangkan oleh Puskesmas Gedongtengen untuk menjadi Layanan Ramah ODHIV, yaitu dengan membangun kedekatan dengan komunitas dan selalu melibatkan komunitas dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Sedangkan saat kunjungan di Yayasan Kebaya Yogyakarta, peserta bisa melihat secara langsung sekretariat sekaligus shelter ODHIV yang memberikan layanan kepada ODHIV terlantar. Peserta juga bisa berdiskusi secara langsung dengan teman-teman transpuan yang selama ini aktif melakukan pendampingan kepada komunitas transpuan di DIY.
Sesi selanjutnya adalah diskusi kelompok untuk merumuskan strategi penanggulangan HIV dan AIDS dalam rangka percepatan pencapaian target Three Zero di tahun 2030. Sesi ini difasilitasi oleh Eviana Hapsari Dewi dari EMEGE Research Consulting. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok untuk mendiskusikan rumusan rencana aksi bersama dalam bidang Promotif dan Preventif, Kuratif, Rehabilitatif, Lintas Sektor serta Kebijakan.
Rumusan rencana aksi bersama yang disusun dari masing-masing bidang meliputi isu strategis, rincian kegiatan, sasaran, pelaksana dan pendanaan. Beberapa isu strategis dari bidang Promotif dan Preventif antara lain edukasi terkait kespro, HIV dan IMS bagi tenaga kesehatan, populasi kunci, masyarakat, kaum muda, remaja dan anak sekolah serta pengurangan stigma dan diskriminasi (termasuk self-stigma pada diri ODHIV serta stigma dari keluarga dan orang terdekat). Isu strategis dari Bidang Kuratif meliputi perluasan akses layanan kesehatan bagi ODHIV dan peningkatan kualitas layanan kesehatan.
Isu strategis dari bidang rehabilitatif meliputi pembentukan pendukung sebaya dan KDS, penguatan kapasitas pendukung sebaya dan KDS dan mengoptimalkan peran KDS dan Pendukung Sebaya dalam pendampingan ODHIV untuk meminimalkan kasus putus ARV. Isu strategis pada Bidang Lintas Sektor adalah penguatan peran KPAD untuk pengendalian HIV dan AIDS di daerah. Isu strategis Bidang Kebjakan meliputi penguatan komitmen dari Pemerintah Daerah untuk isu HIV dan peningkatan akses jaminan kesehatan bagi ODHIV.
Hasil dari rumusan rencana aksi bersama tersebut menjadi acuan pelaksanaan kegiatan kolaborasi lintas sektor yang telah disusun. Beberapa lembaga sudah memiliki program HIV dan AIDS dengan pendanaan khusus sehingga kegiatan yang direncanakan dapat dilakukan secara kontinyu. Sedangkan sebagian lembaga lainnya belum secara spasifik melakukan program HIV dan AIDS, sehingga rencana kegiatan yang dirumuskan akan dilaksanakan terintegrasi dalam program rutin yang mereka lakukan. Monitoring perlu dilakukan untuk memastikan rencana aksi yang telah disusun dapat diimplementasikan. Rumusan rencana aksi yang sudah disusun telah memunculkan beberapa perubahan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah Yayasan Atekeleng sudah melakukan beberapa kegiatan advokasi untuk program HIV dan AIDS.
Kegiatan pertama yang dilakukan Yayasan Atekeleng adalah audiensi ke Kantor Bupati Karo untuk mengaktifkan kembali KPA Tanah Karo pada 30 Agustus 2023. Kegiatan selanjutnya adalah Seminar Percepatan Three Zero untuk Wilayah Sumatra Utara pada 5 September 2023. Kedua kegiatan tersebut menggunakan dana dari Gereja dan dilakukan secara sinergi dengan beberapa pihak. Kedua kegiatan ini menjadi langkah awal yang cukup strategis untuk lebih mengoptimalkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah Sumatera Utara. Kerja-kerja penanggulangan HIV memang diinisiasi oleh OMS tetapi tentunya tetap membutuhkan komitmen dan dukungan dari Pemerintah Daerah serta sektor lainnya agar hasil yang dicapai juga lebih optimal untuk mengakhiri AIDS di 2030.
(Ghanis Kristia)