Desa Peduli Dusun Terpencil
Agustus 26, 2024Melayani Dengan Setia, Berharga di mata Tuhan
September 2, 2024Teater Inklusi sebagai Jawaban
atas Kejenuhan pada Edukasi Kesehatan
Edukasi konvensional seperti ceramah, penyuluhan, seringkali dianggap membosankan. Apalagi di era yang serba digital. Edutainment, menjadi solusi untuk mengatasi kejenuhan masyarakat. Kegiatan edukasi yang dikolaborasikan dengan seni yang menghibur dalam bentuk pementasan yang menarik dapat meningkatkan minat masyarakat untuk hadir, memperpanjang rentang atensi peserta, mengoptimalkan manfaat dan pemahaman materi edukasi yang disampaikan. Hal itulah yang dilakukan oleh Teater Inklusi Yogyakarta (TIYo), salah satu komunitas yang terbentuk di Kota Yogyakarta yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai HIV dan AIDS dan kesehatan kepada masyarakat melalui seni pertunjukan.
Keberadaan TIYo Bermula dari forum diskusi oleh beberapa anggota dari komunitas PITA MERAH Jogja, Yayasan KEBAYA, dan WPA (Warga Peduli AIDS) dari 8 Kelurahan yaitu Bener, Kricak, Sosromenduran, Pringgokusuman, Giwangan, Warungboto, Gedongkiwo, dan Suryodiningratan, yang membahas bagaimana cara mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap transpuan, Orang dengan HIV (ODHIV), disabilitas dan kaum rentan lainnya. Melalui diskusi yang berlangsung pada September 2022 itu, tercetuslah sebuah ide untuk melakukan kegiatan edukasi ke masyarakat melalui kesenian teater. Penggunaan media seni ini juga didasari karena masyarakat, terutama anak muda yang mulai lupa dengan budaya lokal seperti kethoprak, cerita lokal, tari tradisional, bahkan pengunaan bahasa ibu, seperti bahasa Jawa.
Visi TIYo yaitu menjadi teater yang inklusif dan memberikan edukasi serta informasi yang benar terkait isu HIV dan AIDS serta kesehatan. Sedangkan misinya ada dua yaitu melakukan edukasi HIV dan AIDS melalui media teater dan memperluas jaringan dengan stakeholder terkait.
Inklusivitas menjadi nilai yang fundamental dalam komunitas ini karena latar belakang dari anggotanya yang beragam, baik dari transpuan, ODHIV, orang dengan disabilitas, lansia, remaja, ibu rumah tangga, driver ojek online, dan karyawan. Tidak sampai di situ saja, mereka juga mengikutsertakan elemen masyarakat untuk ikut andil dalam rangkaian kegitaan edukasi dan pementasan.
Teater Inklusi Yogyakarta sudah melakukan dua kali pementasan, pentas pertama pada 5 Januari 2023 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dengan mengusung edukasi tentang HIV & AIDS yang berjudul Bidadari di atas Sebutir Padi yang terinspirasi dari cerita rakyat Jaka Tarub, dengan pendampingan dari UPKM/CD Bethesda YAKKUM Yogyakarta, bekerja sama dengan Wahyana Giri M.C dari Dewan Teater Yogyakarta dan Wisnugroho dari CD Bethesda YAKKUM sebagai penulis naskah dan sutradara. Pentas pertama TIYo ini sukses menyampaikan informasi tentang HIV dan AIDS sekaligus menghibur ratusan penonton yang hadir.
“Pentas ini juga sekaligus memperkenalkan Teater Inklusi Yogyakarta sebagai tim yang solid dan mampu bersaing dengan kelompok teater besar yang sudah ada sebelumnya. Sekaligus menambah jam terbang sebagai kelompok teater, sehingga menumbuhkan kepercayaan diri dan eksistensi mereka,” jelas Wisnugroho. [1] kutipan dari Helloborneo.com
IDEAKSI
Perkembangan selanjutnya, isu yang diusung TIYo tidak hanya berkaitan dengan isu HIV dan AIDS tetapi juga Pengurangan Risiko Bencana (PRB). TIYo mengikuti seleksi Program IDEAKSI (Ide Inovasi Aksi Inklusi) dari YEU (YAKKUM Emergency Unit), bersaing dengan puluhan peserta lainnya. Program IDEAKSI bertujuan menghasilkan solusi atas masalah maupun tantangan dalam penanggulangan bencana dengan dukungan yang memadai, khususnya dalam rangka meningkatkan aksesibilitas, akuntabilitas dan pelibatan kelompok yang paling berisiko dalam kesiapsiagaan bencana dan tanggap kemanusiaan. Bulan September 2023, TIYo dinyatakan lolos dalam seleksi bersama 14 kelompok inovator lainnya dan menerima dana hibah dalam implementasi Program IDEAKSI.
Melalui dukungan dari program IDEAKSI ini, pada 22 Desember 2023, pementasan kedua diadakan di Ruang Terbuka Hijau Publik, RT 03 RW 01 Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, dengan mengusung edukasi mengenai mitigasi bencana banjir yang berjudul True Love: Tresno Sejati yang terinspirasi dari cerita rakyat Ande–ande Lumut. Bekerja sama dengan Bey Saptono sebagai penulis naskah dan Wisnugroho sebagai pengarah artistik. Pementasan Kedua dihadiri banyak penonton, berlangsung dengan sangat interaktif dan menghibur, terdengar dari riuh tawa dan celetukan penonton yang merespon lagak penampil.
TIYo berkolaborasi dengan potensi lokal yang ada di wilayah Ngampilan, seperti kesenian Bregodo, kelompok gamelan, kelompok tari anak - anak dan produk bakpia. Wilayah Ngampilan berada di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Winongo yang cukup padat penduduk, dianggap rawan bencana karena pernah terjadi bencana banjir beberapa kali dan kebakaran yang mengakibatkan 1 jembatan hanyut, rumah dan kantor arsip terbakar.
Guna mengukur tingkat kesadaran mitigasi bencana banjir, TIYo menyediakan lembar Pre dan Post Test yang dibagikan ke penonton diawal dan akhir pertunjukan, dari hasil tes yang dilakukan, menjelaskan adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman penonton dalam hal ini masyarakat Kelurahan Ngampilan terhadap mitigasi bencana banjir yang rawan terjadi di lingkungan mereka.
Menuju Bangkok, Thailand
Seiring keterlibatan TIYo dalam Program IDEAKSI, membawa kelompok teater yang relatif baru ini ke ajakan mengikuti Regional Humanitarian Partnership Week (RHPW) 2023 di Bangkok, Thailand. Pekan Kemitraan Kemanusiaan Regional ini berisi kegiatan presentasi, panel diskusi, lokakarya, dan sesi jaringan yang akan menampilkan praktik-praktik baik, tantangan, dan peluang untuk meningkatkan aksi kemanusiaan lokal. YEU mengajak perwakilan TIYo mengikuti kegiatan pada 11-13 Desember 2023.
Keikutsertaan TIYo dalam forum lembaga-lembaga kemanusiaan tersebut dikarenakan dalam pementasannya, teater inklusi menggunakan budaya lokal dalam peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana. Keterlibatan mereka dalam RHPW 2023 bersama YEU di Bangkok, Thailand, menunjukkan pengakuan terhadap kontribusi budaya lokal dalam aksi kemanusiaan global.
(Rudi Kurniawan)