Kisah Dokter di Perbatasan, Menjaga Asa ODHIV Tetap Sehat
Juli 3, 2024Warga Peduli AIDS, Potret Partisipasi Masyarakat Dalam Isu HIV dan AIDS
Juli 8, 2024Posyandu Jangan Sampai di Ujung Tanduk
Keberadaan Posyandu di desa yang jauh dari kota dan pusat pemerintahan kabupaten menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan desa, terutama dalam meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak. Oleh karena itu, program Posyandu tetap dipertahankan. Bahkan, kini ada kategorisasi Posyandu untuk menentukan bentuk dukungan dari berbagai pihak demi perbaikan kualitas layanan di Posyandu.
Menilik keberadaan Posyandu, maka dalam rangkaian Monitoring dan Evaluasi Program “Peningkatan Peran Masyarakat Sipil Untuk Mencapai Sistem Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas di Kabupaten Sumba Timur, Alor, dan Malaka NTT" tahun kedua, salah satu aspek yang digali adalah persoalan kebijakan mengenai Posyandu, baik kebijakan di level kabupaten maupun desa. Di 3 kabupaten ini, tidak ada desa/kelurahan yang tidak memiliki Posyandu, bahkan ada desa yang sudah berinisiatif membuka layanan Posbindu untuk remaja dan lansia, meskipun tidak se-intens layanan Posyandu yang berjalan bulanan. Dari hasil wawancara dengan Dinas Kesehatan (Dinkes), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) 3 kabupaten [1], didapatkan data jumlah desa dan jumlah Posyandu yang kelembagaannya sudah terdaftar di DPMD sebagai berikut:
Bila melihat rasio antara jumlah desa dibanding dengan jumlah Posyandu terdaftar, maka rerata setiap desa memiliki paling tidak 3 sampai 4 unit Posyandu yang aktif, dengan berbagai tipe strata layanan. Ada 4 strata Posyandu: Posyandu Pratama, Posyandu Madya, Posyandu Purnama, Posyandu Mandiri. Terhadap keadaan seluruh Posyandu ini, ada beberapa kebijakan yang masing-masing daerah berbeda dan mengusung keunikannya sendiri, sembari mengingat visi dan misi pimpinan daerah.
Saat diskusi membahas prioritas pemerintah daerah terkait pelayanan KIA melalui Posyandu, serta membicarakan keunikan kebijakan terkait, berikut respon dari Dinas Kesehatan 3 kabupaten:
Prioritas kebijakan di 3 wilayah ini tampaknya berbeda satu sama lain, tentu karena disesuaikan dengan persoalan dan potensi yang ada di masing-masing wilayah, selain kemampuan anggaran dan pendapatan daerah yang beragam. Masing-masing target pemerintah kabupaten dalam hal pelayanan kesehatan dasar melalui Posyandu adalah sebagai berikut:
Dalam mengupayakan terwujudnya target-target ini, Dinas Kesehatan sebagai penanggungjawab mandat utama terbuka untuk mengembangkan kerjasama dengan pihak-pihak lain, termasuk organisasi berbasis masyarakat. Maka tak heran ketika UPKM/ CD Bethesda YAKKUM mengajak kolaborasi, Dinas Kesehatan dan OPD terkait menyambut dengan baik. Program peningkatan kualitas layanan kesehatan yang dikerjasamakan ini mendorong desa-desa turut mengambil peran menciptakan inisiatif kesehatan, yang kemudian didukung oleh segala potensi desa, termasuk di antaranya memikirkan dan mendanai aktivitas Posyandu secara rutin. Inisiatif kesehatan yang muncul dari pemerintah dan masyarakat desa tidak hanya melulu pendanaan rutin untuk pengadaan bahan pengadaan bahan makanan tambahan dan insentif kader, tetapi juga hal-hal baru yang belum tersentuh sebelumnya.
Inovasi-inovasi yang Membedakan Posyandu Dampingan
Hal yang menjadi perhatian para narasumber mengenai perbedaan sebelum dan selama pendampingan UPKM/CD Bethesda YAKKUM terhadap penyelenggaraan program di 3A desa adalah munculnya inisiatif kesehatan baik dari kader, masyarakat dan pemerintah desa sendiri. Inisiatif kesehatan lebih difokuskan pada menciptakan keragaman pangan lokal agar program pemberian makanan tambahan (PMT) untuk balita dan ibu hamil diminati. Selama ini, PMT yang disediakan pada saat pelayanan Posyandu kurang beragam, sehingga balita bosan. Dalam hal ini, UPKM/CD Bethesda YAKKUM memfasilitasi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan ibu-ibu PKK dan kader Posyandu dalam hal mengolah bahan makanan agar PMT disukai dan orangtua balita bisa mencoba memasaknya di rumah. Variasi PMT dengan bahan lokal yang ada di sekitar rumah diharapkan bisa membantu balita menyukai makanan dan gizinya membaik. Menurut Dinas Kesehatan Malaka, intervensi UPKM/CD Bethesda YAKKUM yang mendukung pengelolaan pangan lokal tetap harus dalam kontrol tenaga pengelola gizi (TPG) yang bekerja di setiap Puskesmas. Artinya, penyusunan menu pangan lokal untuk balita dan ibu hamil di setiap layanan Posyandu harus dikonsultasikan dengan TPG sebagaimana di setiap sosialisasi gizi keluarga di desa dilaksanakan harus bersama TPG. Di Sumba Timur, berkaitan dengan penyiapan makanan di Posyandu sekarang minimal PKK di desa terlibat menyiapkan PMT lokal. “Tahapan sekarang ini kita mulai dengan pelatihan di tingkat desa. PKK dilatih untuk mengolah makanan untuk PMT dengan memanfaatkan potensi lokal di wilayah desa tersebut. Desa diberikan kebebasan untuk mengolah bahan makanan yang ada seperti kelor. Sesuai intruksi gubernur, kelor wajib dimanfaatkan dalam pangan lokal. Pembiayaan pembuatan bubuk kelor (23.000 dan kudapan 16.000 rupiah). Anak gizi kurang dan gizi buruk dikumpulkan di Posyandu diberi PMT sampai 9A hari," jelas Ibu Novri. Ia menambahkan, bersyukur ada lembaga seperti UPKM/ CD Bethesda YAKKUM yang bersedia bekerjasama untuk mengedukasi dan melatihkan ke civitas PKK dan kader Posyandu khusus mengenai variasi pengelolahan makanan lokal.
Selain itu, kader dan ibu-ibu penggiat PKK (sebagai pengelola PMT) juga belajar mengolah minuman sehat untuk memperkuat stamina ibu hamil dan para lansia, sehingga pada saat Posyandu untuk lansia dan ibu hamil, mereka bisa mengkonsumsi dan merasakan manfaatnya. Hal ini juga penting untuk mengingatkan para lansia tentang pengetahuan membuat minuman herbal, yang selama ini sempat hilang dalam tradisi turun temurun. Inisiatif-inisiatif kesehatan yang sederhana ini, ternyata memicu dukungan yang lebih luas, seperti mengembangkan bibit ikan di kolam (didukung oleh Dinas Perikanan), menanam tanaman sayur dan buah sebagai stok bahan PMT, bahkan beberapa orang disabilitas psikososial berinisiatif menyediakan bahan makanan untuk PMT.
Inovasi lainnya di Sumba Timur, yaitu bahwa setiap Puskesmas, Dharma Wanita dari semua OPD harus punya Posyandu binaan. Kebijakan Bupati diberlakukan bahwa setiap pejabat harus mempunyai anak asuh dengan status gizi buruk dan kurang. Selain itu kecamatan juga diberikan kesempatan berinovasi seperti Jas Antik (jangan ada stunting di antara kita), Selimut Cantik (selamatkan ibu bersalin dari kematian) dan lainnya.
Merespon inisiatif-inisiatif kesehatan di Posyandu, ada perubahan yang diamati oleh para mitra di tingkat kabupaten. Sebagaimana disampaikan oleh Heri Zirr (DPMD Kabupaten Alor), bahwa Posyandu yang didampingi di wilayah dampingan UPKM/CD Bethesda YAKKUM agak berbeda dengan Posyandu lainnya. Baginya aktivitas kehadiran UPKM/CD Bethesda YAKKUM bermanfaat, bahkan kalau bisa dikembangkan di pulau-pulau kecil. Untuk memantau kondisi Posyandu dan pelayanan kesehatan di desa, para pemangku kebijakan membuat grup percakapan dan diskusi yang lintas dinas, termasuk di antaranya DPMD dan OPD lainnya. “Yang menarik bagi saya, ada perubahan motivasi kerja kader, dan pemerintah desa kali ini terlibat di kegiatan Posyandu. Meski desa jauh dan sulit dijangkau oleh fasilitas kesehatan, ternyata terjadi pembentukan kelas ibu hamil untuk mengedukasi menjaga kehamilannya," jelasnya.
Hal yang berbeda lagi menurutnya adalah kini pemerintah desa menjadi semakin memahami tentang persoalan stunting setelah diajak berdiskusi melalui kegiatan rembug stunting di level desa. Sebelumnya, pembicaraan tentang penanganan stunting sebatas di level kabupaten saja [2] , sehingga ada banyak pertanyaan tentang stunting dalam benak kepala desa yang tidak terjawab. Bila kurang memahami apa dampak stunting ke depannya bagi anak-anak, maka pemerintah desa tidak segera membuat kebijakan pencegahan dan penanganan stunting. Namun setelah menginisiasi rembug stunting dibahas di forum desa, inovasi ini berhasil membuka mata kepala desa memahami urgensinya pencegahan dan percepatan penurunan stunting. Hingga waktu wawancara, menurut beliau rembug stunting desa sudah dilaksanakan oleh 4 desa dan desa-desa lain sedang didorong untuk melakukan forum ini.
Perubahan lain yang diamati oleh pihak OPD adalah apa yang tidak bisa ditemukan oleh pemerintah malah ditemukan dengan adanya inisiatif kesehatan desa, salah satunya adalah penemuan kasus balita gizi buruk dan gizi kurang. Rachmad Zainudin dari Bappelitbangda Kabupaten Alor menceritakan tentang temuan kasus gizi buruk di Mataru Utara menginspirasi Program Kekasih Kuning [3] yang awalnya berangkat dari temuan desa dampingan UPKM/CD Bethesda YAKKUM kala itu. Hal ini sangat memungkinkan terjadi di masa mendatang, ketika tenaga kesehatan desa, Puskesmas dan kader Posyandu mampu mengelola data valid dari penyelenggaraan Posyandu yang semakin berkualitas.
Tantangan Pengembangan Layanan Posyandu
Meskipun jumlah Posyandu semakin berkembang, pelayanannya makin diperbaiki dari hari ke hari dengan disediakannya berbagai kebijakan dan pendanaan rutin bersumber Dana Desa dan dukungan dari berbagai pihak, bagaimanapun Posyandu tetap mendapatkan tantangan tersendiri. Positifnya, dengan tantangan-tantangan itu civitas Posyandu dan pemangku kebijakan mustinya semakin kreatif dalam berinovasi. Dari pengamatan para narasumber yang diwawancarai selama monitoring dan evaluasi, ada beberapa tantangan yang bisa dipetakan
Infrastruktur dan Sarana
Kabupaten Alor
- Pelayanan tidak ada lahan terutama di kelurahan.
- Posyandu pionir tidak ada sarana pendukung sehingga tingkat kehadiran ibu hamil dan balita jauh di bawah rata-rata.
- Faskes yang inklusif : di beberapa puskesmas, RS sudah, tapi di posyandu belum, penting dipikirkan, belajar dari Puskesmas dan posyandu di Besikama, harus dikampanyekan.
Kabupaten Malaka
-
Ada yang sudah punya gedung layanan tersendiri tetapi belum punya meja kursi/ meubeler, sementara meubeler menjadi tanggung jawab pemerintah desa pengadaannya.
Kabupaten Sumba Timur
- Kepala desa belum semuanya paham tanggungjawab untuk menyediakan sarana prasarana.
- Pencatatan dan suplai buku KIA dari Kemenkes, sekarang ini terbatas, tidak semua sasaran bumil mendapat buku KIA sehingga dengan Dana DAU akan cetak buku KIA karena ini mendukung SPM bidang kesehatan (specific grant)
Tata Pengelolaan (Good Governance)
Kabupaten Alor
- Pergantian kepala desa kader juga diganti krn terkait pilkades.
-
DPMD kesulitan mengukur tingkat partisipasi masyarakat.
Kabupaten Malaka
-
Kader banyak yang diganti seiring dengan pergantian kepala desa baru.
-
Kader (terutama yang baru dipilih) belum mampu memberikan edukasi.
-
Kepala desa orientasinya pembangunan fisik bukan pemberdayaan. tingkat partisipasi yang masih menjadi PR. Sebagai contoh, Posyandu yang hadir tenakes, tapi pemdes jarang hadir, kader yang aktif rata-rata hanya 3 orang.
Kabupaten Sumba Timur
- Kader yang terlatih dimutasi atau diganti.
-
Intervensi Dinkes lewat Puskesmas tidak memandang dari jarak posyandu, namun belum mampu keliling di semua desa secara rutin.
Motivasi dan Layanan
Kabupaten Alor
-
Ada 3T : terlambat mencapai faskes, terlambat keputusan, terlambat mendapat penanganan.
-
Kesadaran membawa anaknya dan ibu hamil ke Posyandu untuk pemeriksaan belum 100% (baru 60%)
Kabupaten Malaka
-
PMT dipajang, tapi tidak diberikan edukasi bagaimana feeding anak balita yang benar
-
Tingkat kehadiran balita ke Posyandu belum mencapai 100%, baru 92,12%
-
Anak datang ke posyandu dalam keadaan kenyang sehingga tidka mau makan PMT.
-
Bantuan-bantuan dari swasta untuk pangan lokal sebenarnya ada banyak, tapi tidak tahu, jadi tidak akses.
-
Layanan ibu hamil dan balita disabilitas tetap ada tetapi kunjungan rumah, tidak dibawa ke titik lokasi Posyandu
Kabupaten Sumba Timur
-
Ibu hamil dengan disabilitas tidak datang ANC,puskesmas ada anggaran untuk kunjungan bumil disabilitas, sweeping imunisasi. dikunjungi rumah
-
Target kehadiran rutin: 100%, tapi pas bukan operasi timbang ya pasti ada yang lost sehingga dikunjungi.
-
AKB: 2021 33 kasus, 2022: 88 kasus. naik tajam karena peralatan di puskesmas tidak tersedia, penganggaran untuk pengadaan. 2023: 17 kasus.
-
Faktor AKI dan AKB tinggi ada 3T : terlambat mencapai faskes, terlambat keputusan, terlambat mendapat penanganan. setiap ada kematian ibu wajib diaudit. i sumba ada strata, jadi golongan hamba menunggu keputusan dari tuannya
Terlepas dari segala tantangan dan hambatan yang ada, Posyandu patut berubah menjadi lebih baik. Hal ini ditopang dengan kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi peningkatan kualitasnya, seperti pendanaan yang diwajibkan untuk pelayanan kesehatan dari Dana Desa (3A% untuk pemberdayaan termasuk kesehatan), dukungan antropometri dan peningkatan kapasitas dari Dinas Kesehatan melalui Puskesmas dan pihak lain (LSM, CSR BUMN, dll). Ada juga kebijakan lintas isu program (ketahanan pangan lokal, kesehatan lingkungan, pertanian, pemberdayaan ekonomi, dll) yang saling mendukung dan terintegrasi. Dengan modal inovasi yang menuntut pemerintah desa bekerja keras memperbaiki kualitas layanan di Posyandu, mustinya Posyandu tidak lagi di ujung tanduk, tetapi harus diperkokoh dan didukung. Oleh karenanya, visi daerah menuju masyarakat sehat dan anak anak yang bebas dari stunting makin optimis terwujud.
(Dewi Utari)
Daftar Pustaka
[1]Wawancara dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Alor (Ezron Maro sebagai Sekretaris Dinas, Gusman Lalangpuling sebagai staf pengelola Kesehatan Ibu Anak dalam Bidang Kesmas), Rachmad Zainudin selaku fungsional perencana ahli madya Bappelitbang, dan Herri Sir Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat DPMD. Di Kabupaten Malaka dengan Dinas Kesehatan (Desriana D.M.Feran bidang P2P dan Ignatius Manik Un, sebagai koordinator program imunisasi dan surveillance, Maria Gaudensiana H. Taek, bidang Kesmas bagian Promkes dan Posyandu), Bappeda yaitu Anton Bere Mali, fungsional perencana dan Dinas PMD yaitu Matilde Niis Seran sebagai Sekretaris Dinas, Rosa Brito sebagai Kepala Seksi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dan Potensi Desa dan Asince Bria sebagai pelaksana Bidang Sosbud. Di Kabupaten Sumba Timur wawancara dengan Dinas Kesehatan (Novri Kilimandu sebagai Kabid P2P dan Juleha Keliwawa sebagai administrator di bidang Yankes), dan Bappeda yaitu Benyamin L. Ama sebagai pelaksana Bidang Pemerintahan Pembangunan Manusia.
[2]Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2A21 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi di antara pemangku kepentingan. Perpres ini merupakan pengganti Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2A13 tentang Gerakan Nasional Percepatan perbaikan Gizi. Selain itu, Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2A21 ini memastikan pemerintah desa/kelurahan mengkoordinir dan mendanai percepatan penurunan stunting di level desa/kelurahan, tidak hanya berhenti sampai di level kabupaten/kota.
[3]Program gerakan menanam tanaman kelor untuk mengatasi gizi buruk dan gizi kurang balita dan ibu hamil