Mengatasi HIV & AIDS, Perempuan Belu Mesti Berdaya
Juni 18, 2024Pelayanan Posyandu: Antara Idealitas dan Realitas
Juni 27, 2024Melampaui Angka:
Menilai Dampak dan Efektivitas dalam Inisiatif Pengendalian Terpadu HIV
Monitoring dan evaluasi (ME) memainkan peran penting dalam sebuah proyek sosial sebagai penyedia kerangka kerja yang sistematis dan obyektif untuk melacak kemajuan dan menilai hasil atau pencapaian proyek. Proses-proses ME memastikan akuntabilitas dengan menilai apakah suatu proyek mencapai tujuan yang diinginkan dan memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efisien. ME juga menumbuhkan budaya mencatat pembelajaran dan memungkinkan sebuah organisasi untuk membuat penyesuaian berdasarkan informasi yang tersedia, mengubah strategi jika diperlukan, dan mengoptimalkan alokasi sumber daya sebaik mungkin.
Data-data yang dihasilkan melalui ME akan dijadikan bahan pendukung untuk pengambilan keputusan berbasis bukti, membantu menyediakan kerangka data untuk disarankan kepada pengambil keputusan. Selain itu, ME mendorong transparansi, memungkinkan komunikasi terbuka tentang keberhasilan dan tantangan, sekaligus memungkinkan adaptasi terhadap perubahan keadaan dalam lingkungan proyek yang dinamis. Pada akhirnya, ME sangat penting untuk membangun kredibilitas, mengamankan pendanaan, dan memaksimalkan efektivitas sebuah proyek sosial secara keseluruhan.
Sehati dengan informasi di atas, UPKM/CD Bethesda YAKKUM juga memandang bahwa ME adalah bagian krusial dari keberhasilan suatu proyek. Proses monitoring yang dilakukan UPKM/CD Bethesda YAKKUM menggunakan format atau kriteria dari Development Assitance Committee (DAC) sebagai landasan dasarnya. Sepanjang tulisan ini, akan dibagikan berbagai penemuan, pencapaian, cerita perubahan, dan pembelajaran yang ditemukan selama proses ME Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta selama tahun 2023.
Melewati tahun pertama program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta periode Juli 2022-Juni 2023, telah muncul berbagai dinamika yang membawa perubahan dan penyesuaian. Proses monitoring kali ini dilakukan beberapa pendekatan guna mengumpulkan data. Pendekatan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sumber daya di lapangan. Pertama, dilakukan desk review atau studi literatur terhadap dokumen sekunder yang dapat dikumpulkan terkait narasumber, penerima manfaat maupun mitra dalam pelaksanaan progam. Desk review meliputi studi dokumen dari pemerintah, data-data monitoring sebelumnya, dan juga pelaporan kegiatan dalam media sosial atau media massa.
Berikutnya, dilakukan beberapa proses wawancara mendalam dengan beberapa instansi pemerintahan dan rumah sakit, ODHIV selaku penerima manfaat, juga WPA dan KDS sebagai mitra. Dan terakhir, dilakukan juga Kelompok Diskusi Terarah (Focus Group Discussion) yang berbasis partisipatori untuk mengumpulkan data dari kelompok-kelompok seperti Warga Peduli AIDS (WPA) dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).
Sehati dengan informasi di atas, UPKM/CD Bethesda YAKKUM juga memandang bahwa ME adalah bagian krusial dari keberhasilan suatu proyek. Proses monitoring yang dilakukan UPKM/CD Bethesda YAKKUM menggunakan format atau kriteria dari Development Assitance Committee (DAC) sebagai landasan dasarnya. Sepanjang tulisan ini, akan dibagikan berbagai penemuan, pencapaian, cerita perubahan, dan pembelajaran yang ditemukan selama proses ME Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta selama tahun 2023.
Melewati tahun pertama program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta periode Juli 2022-Juni 2023, telah muncul berbagai dinamika yang membawa perubahan dan penyesuaian. Proses monitoring kali ini dilakukan beberapa pendekatan guna mengumpulkan data. Pendekatan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sumber daya di lapangan. Pertama, dilakukan desk review atau studi literatur terhadap dokumen sekunder yang dapat dikumpulkan terkait narasumber, penerima manfaat maupun mitra dalam pelaksanaan progam. Desk review meliputi studi dokumen dari pemerintah, data-data monitoring sebelumnya, dan juga pelaporan kegiatan dalam media sosial atau media massa.
Berikutnya, dilakukan beberapa proses wawancara mendalam dengan beberapa instansi pemerintahan dan rumah sakit, ODHIV selaku penerima manfaat, juga WPA dan KDS sebagai mitra. Dan terakhir, dilakukan juga Kelompok Diskusi Terarah (Focus Group Discussion) yang berbasis partisipatori untuk mengumpulkan data dari kelompok-kelompok seperti Warga Peduli AIDS (WPA) dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).
Refleksi dari Konteks Kabupaten Belu
Anggaran yang tersedia di Kabupaten Belu pada tahun 2023 untuk program kesehatan yang dikelola Bidang Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Bidang dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) sekitar Rp 131.200.000. Dana tersebut digunakan untuk VCT Mobile sebesar Rp 27.200.000 dan untuk bidang SDK sebesar Rp 104.000.000.
Meskipun jumlah dana tersebut lebih kecil dari tahun sebelumnya, namun ada kebijakan Bupati bahwa semua warga yang memiliki identitas kependudukan Kabupaten Belu dapat mengakses pengobatan gratis, tanpa harus terdaftar di BPJS. Akses ini juga bisa didapatkan oleh warga ber-KTP Belu dimana pun di Indonesia. Hal ini sangat membantu ODHIV, sehingga ODHIV bisa mengakses pengobatan, termasuk untuk mengobati Infeksi Oportunistik (IO). Pemangku kebijakan di Kabupaten Belu menilai bahwa kebijakan ini tidak lepas dari upaya advokasi komunitas terhadap akses perawatan dan pengobatan HIV. Pemerintah Kabupaten Belu juga memberikan alokasi tambahan untuk KPAD sebesar Rp 100.000.000 sebagai modal operasional untuk sosialisasi dan tindakan promotif pencegahan.
Berkaitan dengan komitmen Pemerintah Desa, hingga September 2023, dari 8 wilayah desa/kelurahan mitra di Belu, ada 5 desa yang sudah mengalokasikan Dana Desa untuk kegiatan terkait HIV dan AIDS. Ada 4 desa yang mengalokasikan dana langsung. Alokasi dana tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan mulai dari sosialisasi, biaya transport bagi anggota aktif WPA yang mendampingi ODHIV, bantuan sosial, dan sebagainya. Sementera 1 desa yakni Manleten, menetapkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk ODHIV.
Berikut adalah tabel rincian alokasi anggaran Dana Desa khusus untuk HIV tahun 2023:
Meskipun jumlah dana tersebut lebih kecil dari tahun sebelumnya, namun ada kebijakan Bupati bahwa semua warga yang memiliki identitas kependudukan Kabupaten Belu dapat mengakses pengobatan gratis, tanpa harus terdaftar di BPJS. Akses ini juga bisa didapatkan oleh warga ber-KTP Belu dimana pun di Indonesia. Hal ini sangat membantu ODHIV, sehingga ODHIV bisa mengakses pengobatan, termasuk untuk mengobati Infeksi Oportunistik (IO). Pemangku kebijakan di Kabupaten Belu menilai bahwa kebijakan ini tidak lepas dari upaya advokasi komunitas terhadap akses perawatan dan pengobatan HIV. Pemerintah Kabupaten Belu juga memberikan alokasi tambahan untuk KPAD sebesar Rp 100.000.000 sebagai modal operasional untuk sosialisasi dan tindakan promotif pencegahan.
Berkaitan dengan komitmen Pemerintah Desa, hingga September 2023, dari 8 wilayah desa/kelurahan mitra di Belu, ada 5 desa yang sudah mengalokasikan Dana Desa untuk kegiatan terkait HIV dan AIDS. Ada 4 desa yang mengalokasikan dana langsung. Alokasi dana tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan mulai dari sosialisasi, biaya transport bagi anggota aktif WPA yang mendampingi ODHIV, bantuan sosial, dan sebagainya. Sementera 1 desa yakni Manleten, menetapkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk ODHIV.
Berikut adalah tabel rincian alokasi anggaran Dana Desa khusus untuk HIV tahun 2023:
Monitoring terhadap kemajuan layanan kesehatan yang memberikan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB), menunjukkan sudah ada 6 unit fasilitas kesehatan yang mendapatkan Surat Keputusan (SK) sebagai tempat layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP). Keenam layanan tersebut yaitu RSUD Atambua, RSK Marianum Halilulik, Puskesmas Atambua Selatan, Puskesmas Atapupu, Puskesmas Wedomo, dan Puskesmas Haliulik. Sedangkan 2 unit puskesmas juga sudah dilatih menjadi LKB tetapi belum mendapatkan SK yaitu Puskesmas Silawan dan Puskesmas Umanen. Satu puskesmas lain, yakni Puskesmas Ainiba belum mendapatkan pelatihan standarisasi LKB.
Keberadaan Warga Peduli AIDS (WPA) di Kabupaten Belu juga menunjukan kemajuan yang signifikan. Kerjasama WPA dengan pemerintah desa dan puskesmas terkait anggaran dan sarana pra-sarana pendukung lainnya juga berkembang pada periode ini. Sebagai contoh, terjadi kerjasama antara WPA dengan pemerintah desa dan Tim Penggerak PKK Desa untuk sama-sama memfasilitasi berbagai kegiatan. Ada juga usaha meningkatkan kualitas produk minyak urut dan pangan lokal. Bahkan, ada WPA yang sudah memiliki uang kas mandiri yang dikumpulkan oleh anggota WPA secara sukarela untuk kegiatan-kegiatan WPA. WPA juga tetap aktif mendesak adanya alokasi anggaran dari APBDes untuk isu HIV dan AIDS. WPA juga melakukan kerjasama dengan ODHIV dalam memproduksi pangan lokal yang dititipkan di warung yang dikelola ODHIV.
Keberadaan Warga Peduli AIDS (WPA) di Kabupaten Belu juga menunjukan kemajuan yang signifikan. Kerjasama WPA dengan pemerintah desa dan puskesmas terkait anggaran dan sarana pra-sarana pendukung lainnya juga berkembang pada periode ini. Sebagai contoh, terjadi kerjasama antara WPA dengan pemerintah desa dan Tim Penggerak PKK Desa untuk sama-sama memfasilitasi berbagai kegiatan. Ada juga usaha meningkatkan kualitas produk minyak urut dan pangan lokal. Bahkan, ada WPA yang sudah memiliki uang kas mandiri yang dikumpulkan oleh anggota WPA secara sukarela untuk kegiatan-kegiatan WPA. WPA juga tetap aktif mendesak adanya alokasi anggaran dari APBDes untuk isu HIV dan AIDS. WPA juga melakukan kerjasama dengan ODHIV dalam memproduksi pangan lokal yang dititipkan di warung yang dikelola ODHIV.
Setelah setahun penuh berproses bersama dengan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), terlihat jelas bahwa terjadi beberapa kemajuan signifikan yang dirasakan ODHIV. Berkaitan dengan kompetensi komunikasi intrapersonal, ODHIV yang datang dalam FGD saat ME sudah bersedia untuk open status karena merasa dikuatkan dan didukung oleh KDS dan WPA. Beberapa ODHIV sudah bersedia memberikan testimoni dalam kegiatan edukasi dan advokasi dalam kegiatan publik yang melibatkan pemangku kebijakan di tingkat kabupaten. ODHIV menjadikan KDS sebagai tempat untuk berbagi pengalaman dan mendapatkan penguatan dari sesama ODHIV yang sudah kembali bangkit.
Secara ekonomi, juga tercatat ada perkembangan usaha yang dilakukan secara pribadi dan kelompok ODHIV. Ada yang mampu membuka usaha, baik dengan modal sendiri maupun bantuan dari pihak lain. Menurut ODHIV yang aktif terlibat di KDS, hal-hal tersebut bisa terjadi kalau ODHIV sudah bisa menerima kondisinya dan didukung oleh orang-orang terdekat untuk kembali bangkit. Intervensi jangka panjang UPKM/CD Bethesda YAKKUM juga dinilai berperan penting dalam akumulasi kompetensi dan kemampuan berjejaring sehingga ODHIV dapat fokus kepada perubahan yang ingin dicapai.
Secara ekonomi, juga tercatat ada perkembangan usaha yang dilakukan secara pribadi dan kelompok ODHIV. Ada yang mampu membuka usaha, baik dengan modal sendiri maupun bantuan dari pihak lain. Menurut ODHIV yang aktif terlibat di KDS, hal-hal tersebut bisa terjadi kalau ODHIV sudah bisa menerima kondisinya dan didukung oleh orang-orang terdekat untuk kembali bangkit. Intervensi jangka panjang UPKM/CD Bethesda YAKKUM juga dinilai berperan penting dalam akumulasi kompetensi dan kemampuan berjejaring sehingga ODHIV dapat fokus kepada perubahan yang ingin dicapai.
Mimpi Mewujudkan Kemandirian KDS
Beberapa mimpi yang ingin diwujudkan oleh ODHIV melalui kegiatan-kegiatan di KDS untuk menuju kemandirian yaitu aktualisasi diri, kepercayaan diri, sehat, aman dan memiliki sumber dana sendiri. Aktualisasi diri merupakan output yang dapat dilihat di permukaan lewat kegiatan-kegiatan seperti “berani bertestimoni”, “berani mengambil ARV sendiri”, “berjejaring dengan mitra/organisasi lain” dan “mampu melakukan advokasi”.
Kepercayaan diri yang dimaksud adalah kemampuan untuk melihat potensi di dalam diri sendiri dan percaya bahwa masing-masing mampu melakukan hal-hal yang berdampak baik, meskipun tidak di depan publik. Kegiatan-kegiatan yang mencerminkan kepercayaan diri menurut KDS antara lain adalah “berani mengedukasi masyarakat”, “bertanggung jawab pada kebutuhan diri sendiri”, “open status”, “berani berhadapan dengan orang lain”.
Sehat bagi ODHIV berarti komitmen untuk mengakses layanan kesehatan bagi mereka masing-masing. Kesehatan ODHIV juga bergantung pada layanan kesehatan yang prima, artinya “akses ARV yang mudah”, dan “anggota KDS bertanggung jawab atas kesehatan secara pribadi”.
Aman dalam keterkaitannya dengan kemandirian, KDS perlu memiliki ruang yang aman untuk terus beraktifitas dan bertumbuh. Aman dalam hal ini berkaitan dengan hilangnya diskriminasi, kekerasan, dan intimidasi dari pihak-pihak di luar KDS. Dalam hal ini KDS juga menekankan perlunya legalitas hukum yang dapat menaungi keberlangsungan kegiatan KDS.
Memiliki sumber dana sendiri untuk keberlangsungan kegiatan. KDS juga menyadari bahwa memiliki sumber dana hasil swadaya KDS adalah salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan untuk mencapai kemandirian KDS. Hal ini juga dikaitkan dengan fakta jika UPKM/CD Bethesda YAKKUM tidak lagi membantu kegiatan KDS, maka kemandirian dana masih menjadi salah satu tantangan terbesar.
Kepercayaan diri yang dimaksud adalah kemampuan untuk melihat potensi di dalam diri sendiri dan percaya bahwa masing-masing mampu melakukan hal-hal yang berdampak baik, meskipun tidak di depan publik. Kegiatan-kegiatan yang mencerminkan kepercayaan diri menurut KDS antara lain adalah “berani mengedukasi masyarakat”, “bertanggung jawab pada kebutuhan diri sendiri”, “open status”, “berani berhadapan dengan orang lain”.
Sehat bagi ODHIV berarti komitmen untuk mengakses layanan kesehatan bagi mereka masing-masing. Kesehatan ODHIV juga bergantung pada layanan kesehatan yang prima, artinya “akses ARV yang mudah”, dan “anggota KDS bertanggung jawab atas kesehatan secara pribadi”.
Aman dalam keterkaitannya dengan kemandirian, KDS perlu memiliki ruang yang aman untuk terus beraktifitas dan bertumbuh. Aman dalam hal ini berkaitan dengan hilangnya diskriminasi, kekerasan, dan intimidasi dari pihak-pihak di luar KDS. Dalam hal ini KDS juga menekankan perlunya legalitas hukum yang dapat menaungi keberlangsungan kegiatan KDS.
Memiliki sumber dana sendiri untuk keberlangsungan kegiatan. KDS juga menyadari bahwa memiliki sumber dana hasil swadaya KDS adalah salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan untuk mencapai kemandirian KDS. Hal ini juga dikaitkan dengan fakta jika UPKM/CD Bethesda YAKKUM tidak lagi membantu kegiatan KDS, maka kemandirian dana masih menjadi salah satu tantangan terbesar.
Refleksi dari Konteks Kota Yogyakarta
Strategi pengendalian HIV dan AIDS secara struktural, biomedical, dan perubahan perilaku untuk pengurangan stigma dan menumbuhkan penerimaan sosial bagi ODHIV masih relevan. Fase kedua program saat ini lebih menekankan penguatan kapasitas lembaga penyedia layanan LKB agar menjadi lebih ramah dan inklusif pada ODHIV, memastikan kelurahan dan desa mengalokasikan anggaran untuk kegiatan berkaitan HIV dan AIDS, dan menyiapkan KDS atau kelompok peduli menjadi lebih mandiri.
Alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Yogyakarta tahun 2023 yang terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS terpadu sejumlah Rp 298.140.200. Angka ini meningkat sebesar 8,22% dari baseline tahun 2021 yaitu Rp 275.500.000. Namun, capaian ini belum sesuai target program yang diampu oleh UPKM/CD Bethesda. Jumlah anggaran ini merupakan kumpulan dari alokasi program beberapa bidang di Dinas Kesehatan yang terkait dengan penanganan HIV dan AIDS. Khusus di Bidang P2P yang merupakan penanggungjawab utama penanganan penyakit menular, mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan HIV dan AIDS sebesar sebesar Rp 138.617.000.
Alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Yogyakarta tahun 2023 yang terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS terpadu sejumlah Rp 298.140.200. Angka ini meningkat sebesar 8,22% dari baseline tahun 2021 yaitu Rp 275.500.000. Namun, capaian ini belum sesuai target program yang diampu oleh UPKM/CD Bethesda. Jumlah anggaran ini merupakan kumpulan dari alokasi program beberapa bidang di Dinas Kesehatan yang terkait dengan penanganan HIV dan AIDS. Khusus di Bidang P2P yang merupakan penanggungjawab utama penanganan penyakit menular, mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan HIV dan AIDS sebesar sebesar Rp 138.617.000.
Alokasi anggaran dari gabungan berbagai program terkait HIV dan AIDS digunakan untuk beberapa kegiatan, diantaranya Hari AIDS Sedunia (HAS), monitoring dan evaluasi Strategi Rencana Aksi Daerah (SRAD) Penanggulangan HIV dan AIDS, penyegaran kapasitas untuk petugas analisis HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS), insentif staf, belanja jasa kantor, koordinasi jejaring layanan HIV, dan peningkatan layanan HIV. Anggaran juga digunakan untuk update knowledge pencegahan hepatitis pada ODHIV, TB pada ODHIV, validasi data, pengadaan reagen VCT, pelatihan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) pada ODHIV bagi petugas kesehatan, serta pelatihan pelayanan korban kekerasan pada perempuan dan anak.
Meski Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta masih konsisten dengan komitmennya untuk penganggaran program HIV dan AIDS, namun besar kemungkinan jumlah anggaran akan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Bahkan, anggaran tahun 2024 diprediksi akan menurun mengingat agenda politik nasional yang berpengaruh pada APBD di segala lini pemerintahan, yaitu Pemilihan Umum yang menyerap banyak anggaran.
Langkah strategis yang diambil oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melalui kolaborasi Bidang P2P dengan bidang lain di Dinas Kesehatan patut dihargai. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta juga mengintegrasikan penanganan HIV dan AIDS dengan isu kesehatan lain seperti penanganan TB, penanganan IMS, dan penyakit menular lainnya yang kemudian menjadi strategi penanganan secara komprehensif. Tidak hanya penanganan penyakit menular saja, program HIV dan AIDS bisa diintegrasikan dengan program kesehatan ibu dan anak, terutama deteksi dini (screening HIV) pada ibu hamil dan kebijakan tes HIV bagi pasangan yang akan menikah. Kegiatan terakhir ini mulai diwajibkan bagi pasangan yang akan menikah, sebagai syarat pengajuan pelayanan pernikahan di lembaga keagamaan.
Visi Dinas Kesehatan menuju three zero untuk meniadakan stigma dan mengurangi kematian dini karena AIDS, secara optimis bisa dikendalikan di Kota Yogyakarta. Tantangan atau pekerjaan rumah yang cukup berat adalah peniadakan penularan baru HIV. Masih sulit untuk mencapai angka 0 (tidak ada kasus baru) setiap tahunnya. Target ini sangat menantang untuk dipenuhi karena sistem notifikasi belum berjalan sempurna dan masih terjadi penolakan pasangan dari ibu rumah tangga yang terdeteksi positif HIV untuk turut memeriksakan diri melalui VCT. Pemakaian kondom sebagai pengamanan juga masih rendah. Data Dinas Kesehatan Kota dari sumber Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA) menunjukkan, penularan baru rata-rata setahun sebanyak 271 kasus. Jumlah penularan baru tersebut sangat mungkin kontribusi dari klien baru yang bukan hanya datang dari Kota Yogyakarta tetapi juga dari tempat lain yang mengakses layanan di Yogyakarta.
Kekuatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk secara konsisten mengalokasikan anggaran khusus pengendalian terpadu HIV dan AIDS dikawal oleh kerja-kerja jaringan dengan LSM, koordinasi antar dinas dan organisasi masyarakat sipil. Banyaknya jaringan seperti JAVA, Forbas, dan lain-lain yang concern tentang HIV dan AIDS, di satu sisi cukup bagus untuk ‘menemani’ implementasi kebijakan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta namun di sisi lain juga memunculkan risiko konflik kepentingan antar-anggota jejaring yang akan menjadi penghambat tercapainya target bila tidak dikelola baik oleh pemerintah sendiri, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Meski Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta masih konsisten dengan komitmennya untuk penganggaran program HIV dan AIDS, namun besar kemungkinan jumlah anggaran akan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Bahkan, anggaran tahun 2024 diprediksi akan menurun mengingat agenda politik nasional yang berpengaruh pada APBD di segala lini pemerintahan, yaitu Pemilihan Umum yang menyerap banyak anggaran.
Langkah strategis yang diambil oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melalui kolaborasi Bidang P2P dengan bidang lain di Dinas Kesehatan patut dihargai. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta juga mengintegrasikan penanganan HIV dan AIDS dengan isu kesehatan lain seperti penanganan TB, penanganan IMS, dan penyakit menular lainnya yang kemudian menjadi strategi penanganan secara komprehensif. Tidak hanya penanganan penyakit menular saja, program HIV dan AIDS bisa diintegrasikan dengan program kesehatan ibu dan anak, terutama deteksi dini (screening HIV) pada ibu hamil dan kebijakan tes HIV bagi pasangan yang akan menikah. Kegiatan terakhir ini mulai diwajibkan bagi pasangan yang akan menikah, sebagai syarat pengajuan pelayanan pernikahan di lembaga keagamaan.
Visi Dinas Kesehatan menuju three zero untuk meniadakan stigma dan mengurangi kematian dini karena AIDS, secara optimis bisa dikendalikan di Kota Yogyakarta. Tantangan atau pekerjaan rumah yang cukup berat adalah peniadakan penularan baru HIV. Masih sulit untuk mencapai angka 0 (tidak ada kasus baru) setiap tahunnya. Target ini sangat menantang untuk dipenuhi karena sistem notifikasi belum berjalan sempurna dan masih terjadi penolakan pasangan dari ibu rumah tangga yang terdeteksi positif HIV untuk turut memeriksakan diri melalui VCT. Pemakaian kondom sebagai pengamanan juga masih rendah. Data Dinas Kesehatan Kota dari sumber Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA) menunjukkan, penularan baru rata-rata setahun sebanyak 271 kasus. Jumlah penularan baru tersebut sangat mungkin kontribusi dari klien baru yang bukan hanya datang dari Kota Yogyakarta tetapi juga dari tempat lain yang mengakses layanan di Yogyakarta.
Kekuatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk secara konsisten mengalokasikan anggaran khusus pengendalian terpadu HIV dan AIDS dikawal oleh kerja-kerja jaringan dengan LSM, koordinasi antar dinas dan organisasi masyarakat sipil. Banyaknya jaringan seperti JAVA, Forbas, dan lain-lain yang concern tentang HIV dan AIDS, di satu sisi cukup bagus untuk ‘menemani’ implementasi kebijakan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta namun di sisi lain juga memunculkan risiko konflik kepentingan antar-anggota jejaring yang akan menjadi penghambat tercapainya target bila tidak dikelola baik oleh pemerintah sendiri, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Kondisi Anggaran HIV dan AIDS di Kelurahan
Bagaimana dengan anggaran yang disediakan oleh kelurahan di wilayah Kota Yogyakarta? Sebagian besar anggaran dari kelurahan digunakan untuk kegiatan edukasi dan penyuluhan HIV dan AIDS yang dikoordinir oleh WPA. Selain itu, alokasi tersebut untuk mendukung pengorganisasian WPA seperti pertemuan koordinasi, biaya edukasi, dan kegiatan lainnya. Namun demikian, besaran pendanaan dari kelurahan belum memadai untuk menanggung kebutuhan peningkatan kapasitas dan kegiatan edukasi di masyarakat yang semestinya dilakukan oleh WPA. Seringkali kegiatan WPA masih ‘numpang’ kegiatan rutin lainnya yang lebih konsisten pendanaannya.
Bila isu pencegahan HIV dan AIDS memungkinkan diintegrasi dengan program lainnya, maka anggaran kelurahan cukup memadai untuk menopang kegiatan WPA. Strategi ini yang pada akhirnya digunakan oleh 8 kelurahan untuk mengintegrasikan Program HIV dan AIDS dengan program lain yang difokuskan pada kelompok rentan remaja, ibu rumah tangga, pasien tuberkulosis dan pasien IMS dengan total sebesar Rp 41.783.387.
Perinciannya adalah sebagai berikut:
Bila isu pencegahan HIV dan AIDS memungkinkan diintegrasi dengan program lainnya, maka anggaran kelurahan cukup memadai untuk menopang kegiatan WPA. Strategi ini yang pada akhirnya digunakan oleh 8 kelurahan untuk mengintegrasikan Program HIV dan AIDS dengan program lain yang difokuskan pada kelompok rentan remaja, ibu rumah tangga, pasien tuberkulosis dan pasien IMS dengan total sebesar Rp 41.783.387.
Perinciannya adalah sebagai berikut:
Sebagaimana anggaran untuk program kesehatan yang dikelola oleh Dinas Kesehatan, anggaran kesehatan yang dikelola oleh pemerintah kelurahan juga fluktuatif. Pemerintah kelurahan mengakui bahwa tidak mudah bagi mereka mengalokasikan program khusus, seperti penanggulangan HIV dan AIDS. Langkah strategis yang dilakukan yaitu menjadikan satu dengan program kesehatan lainnya untuk mempertahankan anggaran tetap ada. Sedangkan anggaran yang khusus untuk mendukung WPA, tidak bisa dialokasikan kecuali untuk pertemuan koordinasi, itupun biasanya untuk keperluan konsumsi.
Sama seperti langkah strategis Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, pemerintah kelurahan diharapkan tetap menjaga komitmen menganggarkan program kesehatan, serta isu HIV dan AIDS tetap diperhatikan dan diakomodasi, bersama dengan isu-isu lainnya untuk promosi atau edukasi kesehatan di masyarakat. Khusus pendanaan bagi WPA, selain dibutuhkan komitmen pemimpin kelurahan, perlu didorong agar WPA mencari sumber pendanaan secara mandiri, baik dari anggotanya maupun usaha bersama yang mendatangkan sumberdaya finansial. Apakah mudah dilakukan? Tentunya akan menemukan tantangan yang membutuhkan upaya kerja keras. Butuh jiwa kerelawanan para anggota untuk tetap menghidupkan WPA dan melanjutkan kegiatannya bila tidak ada dukungan pendanaan dari pihak luar.
Sama seperti langkah strategis Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, pemerintah kelurahan diharapkan tetap menjaga komitmen menganggarkan program kesehatan, serta isu HIV dan AIDS tetap diperhatikan dan diakomodasi, bersama dengan isu-isu lainnya untuk promosi atau edukasi kesehatan di masyarakat. Khusus pendanaan bagi WPA, selain dibutuhkan komitmen pemimpin kelurahan, perlu didorong agar WPA mencari sumber pendanaan secara mandiri, baik dari anggotanya maupun usaha bersama yang mendatangkan sumberdaya finansial. Apakah mudah dilakukan? Tentunya akan menemukan tantangan yang membutuhkan upaya kerja keras. Butuh jiwa kerelawanan para anggota untuk tetap menghidupkan WPA dan melanjutkan kegiatannya bila tidak ada dukungan pendanaan dari pihak luar.
LKB di Kota Yogyakarta: Bersiap Menuju Inklusif
Pembelajaran lain dari proses monitoring evaluasi internal program di Kota Yogyakarta adalah berhubungan dengan status Puskesmas sebagai Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB). Salah satu tujuan jangka menengah yang hendak dicapai oleh program adalah penyelenggaraan layanan di rumah sakit dan puskesmas sebagai LKB sesuai standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.
Ada 4 puskesmas di Kota Yogyakarta yang menjadi mitra program, yaitu Puskesmas Mantrijeron, Puskesmas Umbulharjo I, Puskesmas Gedongtengen, dan Puskesmas Tegalrejo. Keempat Puskesmas ini sudah menjalankan LKB dengan standar Kementerian Kesehatan, namun masing-masing unit memiliki keunikan dan inovasi layanan yang beragam. Inovasi-inovasi tersebut. Contoh:
- Puskesmas Gedongtengen mempunyai Inovasi PERADHA (Pelayanan Ramah ODHA). Layanan ini diminati oleh ODHIV dan klien lainnya dan menjadi nilai plus LKB di Puskesmas Gedongtengen. Selain itu, ada layanan One Stop Service (OSS) yang melayani 24 jam. Layanan pendaftaran ODHIV bisa via whatsapp online saat H-1 kedatangan. Saat klien datang dari awal tes VCT , baca hasil, sampai pengobatan, dan dirujuk ke KDS dilakukan di hari yang sama saat inisiasi ARV.
- Puskesmas Umbulharjo I memiliki layanan plus karena mampu membangun kedekatan dengan klien, memperlancar komunikasi dengan ODHIV, dan pasien bisa bertemu/ konsultasi dengan semua dokter layanan PDP.
- Puskesmas Tegalrejo memiliki inovasi yang menjadikan layanan diminati oleh ODHIV dan klien lainnya dan menjadi nilai plus, yaitu: (1) Program Pre Exposure Profilaxis (PreP) pencegahan HIV dengan obat; (2) kelompok populasi kunci mau mendatangi layanan dan berani untuk tes karena syarat mengikuti program PreP adalah HIV negatif; (3) Jejaring yang kuat dengan kelompok penjangkau dan kelompok dukungan sehingga memudahkan Puskesmas Tegalrejo mengkoordinasikan kegiatan, baik dengan kelompok dukungan dan penjangkauan, Dinas Kesehatan maupun pasien/klien; dan (4) Kepedulian dan peran serta masyarakat yang cukup besar dalam pencegahan dan pengendalian HIV.
Meski target jumlah layanan kesehatan di Kota Yogyakarta yang menerapkan standar LKB menurut Kementerian Kesehatan sudah tercapai, namun demikian perlu didorong untuk menjadi contoh LKB ramah dan inklusif terhadap ODHIV lansia dan disabilitas, khususnya karena belum bisa menyediakan layanan paliatif. Menurut 3 puskesmas yang mengikuti diskusi, LSM merupakan mitra paling strategis bagi puskesmas untuk menjadi LKB berkualitas. LSM membantu untuk penjangkauan dan menyediakan tenaga pendukung sebaya. Selain itu, keberadaan WPA juga sebagai garda depan edukasi bagi masyarakat sekitar.
Keberadaan puskesmas yang semakin banyak melaksanakan LKB, harapannya three zero bisa lebih cepat tercapai. Penerapan LKB di DIY semakin merata, tinggal sekarang pasien akan memilih layanan di mana sesuai lokasi dan kenyamanannya.
(Dewi Utari dan Meta Ose Margareta br Ginting)
Ada 4 puskesmas di Kota Yogyakarta yang menjadi mitra program, yaitu Puskesmas Mantrijeron, Puskesmas Umbulharjo I, Puskesmas Gedongtengen, dan Puskesmas Tegalrejo. Keempat Puskesmas ini sudah menjalankan LKB dengan standar Kementerian Kesehatan, namun masing-masing unit memiliki keunikan dan inovasi layanan yang beragam. Inovasi-inovasi tersebut. Contoh:
- Puskesmas Gedongtengen mempunyai Inovasi PERADHA (Pelayanan Ramah ODHA). Layanan ini diminati oleh ODHIV dan klien lainnya dan menjadi nilai plus LKB di Puskesmas Gedongtengen. Selain itu, ada layanan One Stop Service (OSS) yang melayani 24 jam. Layanan pendaftaran ODHIV bisa via whatsapp online saat H-1 kedatangan. Saat klien datang dari awal tes VCT , baca hasil, sampai pengobatan, dan dirujuk ke KDS dilakukan di hari yang sama saat inisiasi ARV.
- Puskesmas Umbulharjo I memiliki layanan plus karena mampu membangun kedekatan dengan klien, memperlancar komunikasi dengan ODHIV, dan pasien bisa bertemu/ konsultasi dengan semua dokter layanan PDP.
- Puskesmas Tegalrejo memiliki inovasi yang menjadikan layanan diminati oleh ODHIV dan klien lainnya dan menjadi nilai plus, yaitu: (1) Program Pre Exposure Profilaxis (PreP) pencegahan HIV dengan obat; (2) kelompok populasi kunci mau mendatangi layanan dan berani untuk tes karena syarat mengikuti program PreP adalah HIV negatif; (3) Jejaring yang kuat dengan kelompok penjangkau dan kelompok dukungan sehingga memudahkan Puskesmas Tegalrejo mengkoordinasikan kegiatan, baik dengan kelompok dukungan dan penjangkauan, Dinas Kesehatan maupun pasien/klien; dan (4) Kepedulian dan peran serta masyarakat yang cukup besar dalam pencegahan dan pengendalian HIV.
Meski target jumlah layanan kesehatan di Kota Yogyakarta yang menerapkan standar LKB menurut Kementerian Kesehatan sudah tercapai, namun demikian perlu didorong untuk menjadi contoh LKB ramah dan inklusif terhadap ODHIV lansia dan disabilitas, khususnya karena belum bisa menyediakan layanan paliatif. Menurut 3 puskesmas yang mengikuti diskusi, LSM merupakan mitra paling strategis bagi puskesmas untuk menjadi LKB berkualitas. LSM membantu untuk penjangkauan dan menyediakan tenaga pendukung sebaya. Selain itu, keberadaan WPA juga sebagai garda depan edukasi bagi masyarakat sekitar.
Keberadaan puskesmas yang semakin banyak melaksanakan LKB, harapannya three zero bisa lebih cepat tercapai. Penerapan LKB di DIY semakin merata, tinggal sekarang pasien akan memilih layanan di mana sesuai lokasi dan kenyamanannya.
(Dewi Utari dan Meta Ose Margareta br Ginting)