Keterbatasan Bukan Hambatan: Strategi Puskesmas Atambua Selatan Memangkas LFU
Juni 3, 2024Aksi Nyata Pejuang Kespro Selamatkan Generasi Muda
Juni 18, 2024Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS
Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta sudah berjalan lebih dari satu tahun dari rencana tiga tahun durasi program. Program ini merupakan kelanjutan dari program sebelumnya Pencegahan Terpadu Penularan HIV dan AIDS yang dilakukan di dua area yang sama. Selain mengupayakan peningkatan kualitas layanan komprehensif berkesinambungan di puskesmas dan rumah sakit mitra untuk pengendalian HIV dan AIDS, program ini juga menargetkan adanya peningkatan anggaran daerah untuk penanggulangan HIV dan AIDS serta penurunan kasus putus minum obat bagi ODHIV.
Setahun berjalannya program menunjukkan ada beberapa perubahan yang terjadi dan pencapaian beberapa indikator yang ditetapkan. Namun demikian, ada juga indikator tertentu yang masih menghadapi tantangan untuk pencapaiannya. Indikator pertama terkait peningkatan alokasi anggaran Pemerintah Daerah untuk program pengendalian HIV dan AIDS belum bisa tercapai dalam tahun pertama berjalannya program. Ada peningkatan alokasi anggaran Kota Yogyakarta dari sebelumnya sebesar Rp 275.500.000 di tahun 2021 menjadi Rp 298.140.200 atau meningkat sebesar 8,22% di tahun 2023. Meskipun mengalami peningkatan namun angka tersebut belum mencapai target peningkatan sebesar 10% seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena anggaran pemerintah masih diprioritaskan untuk penanggulangan stunting.
Alokasi anggaran program pengendalian HIV dan AIDS di Kota Yogyakarta ini digunakan untuk kegiatan Hari AIDS Sedunia (HAS), monitoring dan evaluasi Strategi Rencana Aksi Daerah (SRAD) Penanggulangan HIV dan AIDS, penyegaran kapasitas untuk petugas analis HIV dan IMS, insentif staf, belanja jasa kantor, koordinasi jejaring layanan HIV, peningkatan layanan HIV, update knowledge pencegahan hepatitis pada ODHIV, pencegahan TB pada ODHIV, validasi data, pengadaan reagen VCT, pelatihan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) pada ODHIV bagi petugas kesehatan, serta pelatihan pelayanan korban kekerasan pada perempuan dan anak.
Sementara alokasi anggaran untuk program pengendalian HIV dan AIDS di Kabupaten Belu tahun 2023 justru lebih rendah dibanding baseline data tahun 2021. Jika di tahun 2021 alokasi anggaran sebesar Rp 345.388.000 maka di tahun 2023 turun 33% menjadi Rp 231.200.000. Penurunan alokasi anggaran ini di luar prediksi sebelumnya. Ternyata, secara keseluruhan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Belu Tahun 2023 menurun sehingga berpengaruh terhadap turunnya jumlah pendanaan untuk program pengendalian HIV dan AIDS. Alokasi anggaran yang tersedia digunakan untuk penjangkauan populasi kunci, pendampingan ODHIV, biaya operasional Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), VCT mobile dan pengadaan reagen VCT.
Pencapaian indikator pertama dalam peningkatan alokasi anggaran untuk program pengendalian HIV dan AIDS secara total untuk dua area pada tahun pertama belum memuaskan karena belum mencapai target yang diharapkan. Upaya advokasi kebijakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang sudah dilakukan ternyata belum membawa hasil yang maksimal.
Indikator kedua yang ditetapkan yaitu 9 dari 15 penyedia layanan kesehatan, baik puskesmas maupun dan rumah sakit mitra di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta menerapkan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV sesuai standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Sampai dengan tahun pertama berjalannya program fase kedua ini, sudah ada 11 penyedia layanan kesehatan terdiri dari 7 (tujuh) puskesmas dan 4 (empat) rumah sakit mitra yang menerapkan LKB HIV. Pencapaian ini melewati target yang ditetapkan yaitu 9 (sembilan) layanan kesehatan.
Kesebelas layanan kesehatan yang telah menerapkan LKB HIV tersebut, 5 (lima) layanan berada di Kabupaten Belu yaitu RSUD Atambua, RS Katholik Marianum Halilulik, Puskesmas Atapupu, Puskesmas Wedomu dan Puskesmas Atambua Selatan. Sedangkan 6 (enam) layanan lain yang ada di Kota Yogyakarta sudah sejak lama menerapkan LKB, yaitu RSUD Kota Yogyakarta, RS Bethesda, Puskesmas Gedongtengen, Puskesmas Umbulharjo 1, Puskesmas Tegalrejo dan Puskesmas Mantrijeron.
Penambahan 3 (tiga) puskesmas di Kabupaten Belu yang menerapkan LKB HIV merupakan hal baru karena sebelumnya tidak ada puskesmas yang memberikan layanan PDP dan masih tersentral di RSUD Atambua. Sementara, penambahan satu LKB HIV di rumah sakit merupakan rumah sakit swasta. Keempat tempat pelayanan LKB HIV baru tersebut ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Belu.
Indikator ketiga yaitu 70% ODHIV yang didampingi mengonsumsi ARV secara rutin. Sampai dengan tahun pertama 2023, sebanyak 88% dari ODHIV yang didampingi patuh mengkonsumsi ARV. Secara total ada 216 ODHIV terdiri dari 138 laki-laki, 70 perempuan, dan 8 transgender yang didampingi melalui Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) di Kabupaten Belu dan Perkumpulan Pita Merah di Kota Yogyakarta. Dari jumlah itu, ada 191 ODHIV (88%) yaitu 124 laki-laki, 65 perempuan, dan 2 transgender yang secara rutin mengkonsumi ARV. Meski pencapaian ini melebihi target yang ditetapkan yaitu 70%, namun masih ada 25 ODHIV (12%) yang Lost To Follow Up (LFU) atau putus minum obat.
Khusus di Kabupaten Belu, sebanyak 93 ODHIV dari total 98 orang yang didampingi, sudah mengkonsumsi ARV secara rutin dan 5 ODHIV lainnya LFU. Sedangkan di Kota Yogyakarta dari 118 ODHIV yang didampingi, sebanyak 98 ODHIV sudah mengkonsumsi ARV secara rutin dan 20 ODHIV masih LFU. Hasil Monitoring dan Evaluasi di Kota Yogyakarta menunjukkan, alasan utama ODHIV mengalami LFU adalah karena tidak berani membuka status kepada keluarga sehingga kurang mendapatkan dukungan serta mengalami stigma dari petugas di layanan kesehatan dan kekerasan dalam rumah tangga. Di sisi lain, upaya yang dilakukan oleh KDS melalui kegiatan pertemuan rutin, peningkatan kapasitas bagi ODHIV dan penjangkauan kepada ODHIV yang LFU cukup efektif dan berjalan optimal untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan sehingga target 70% ODHIV yang didampingi patuh pengobatan dapat tercapai.
Indikator keempat yaitu sebanyak 16 desa mitra meningkatkan alokasi anggaran untuk program HIV dan AIDS sebesar 10%. Setidaknya sudah ada 13 desa/kelurahan yang menjadi mitra UPKM/CD Bethesda YAKKUm meningkatkan alokasi anggaran untuk program HIV dan AIDS. Alokasi anggaran yang difokuskan pada kelompok rentan tersebut meningkat sebesar 1.994% yaitu dari Rp 5.472.556 menjadi total Rp 114.600.387. Lima desa yang didampingi di Kabupaten Belu mengalokasikan anggaran untuk Program HIV dan AIDS yang difokuskan pada kelompok rentan ODHIV dan ibu rumah tangga dengan total sebesar Rp 72.817.000. Sementara, di Kota Yogyakarta delapan kelurahan yang didampingi sudah mengalokasikan anggaran untuk Program HIV dan AIDS yang difokuskan pada kelompok rentan remaja, ibu rumah tangga, pasien tuberkulosis dan pasien Infeksi Menular Seksual (IMS) dengan total sebesar Rp 41.783.387. Meskipun pencapaian indikator pada tahun pertama sudah cukup memuaskan dari sisi jumlah anggaran, namun jumlah desa yang menganggarkan belum maksimal karena baru 13 desa/kelurahan dari 16 desa yang ditargetkan.
Indikator kelima yaitu sebanyak 4 (empat) KDS yang baru dapat melanjutkan kegiatan pendampingan ODHIV dan OHIDHA secara mandiri tanpa dukungan UPKM/CD Bethesda YAKKUM. Sampai tahun pertama berjalannya program, 3 (tiga) KDS yang dibentuk pada akhir program fase pertama belum melanjutkan kegiatan pendampingan ODHIV dan OHIDHA secara mandiri, tetapi sudah mulai persiapan kemandirian.
Total ada empat KDS di Kabupaten Belu dan dua diantaranya sudah melakukan persiapan untuk menuju kemandirian melalui kegiatan pengembangan usaha ekonomi kelompok. Satu kelompok yang ada di Kota Yogyakarta melakukan persiapan untuk menuju kemandirian melalui kegiatan pengurusan legalitas organisasi, penerapan mekanisme fund raising dari potongan honor narasumber internal dan iuran sukarela anggota serta mengupayakan pendanaan dari pihak luar untuk melaksanakan kegiatan. Usaha-usaha ini sudah membuahkan hasil.
Ada dua pendanaan kegiatan yang diterima dari pihak luar yaitu dari International Community of Woman Living with HIV ASIA PASIFIC (ICWAP) dan Jaringan Advokasi HIV dan AIDS DIY (JAVA DIY). ICWAP memberikan dukungan untuk peningkatan kapasitas bagi anggota tentang Kekerasan Berbasis Gender pada Perempuan dengan HIV. Sedangkan JAVA DIY memberikan pendanaan untuk satu kali edukasi bagi anggota tentang perpindahan regimen ARV dari TLE menjadi TLD.
Secara umum, pencapaian indikator belum berjalan maksimal. Masih butuh persiapan-persiapan untuk menentukan jenis usaha yang akan dikerjakan oleh KDS untuk kemandirian termasuk mempersiapkan perencanaan usaha (business plan) dan sumber daya yang akan mengelola usaha tersebut.
Mencermati pencapaian beberapa indikator program pada akhir tahun pertama sudah cukup memuaskan meskipun ada beberapa indikator yang masih membutuhkan usaha keras untuk dapat dicapai, salah satunya terkait kenaikan alokasi APBD untuk program HIV dan AIDS. Advokasi terus dilakukan untuk meningkatkan komitmen pemerintah terhadap upaya pengendalian HIV dan AIDS yang berfokus pada kelompok rentan.
Beberapa pembelajaran baik dalam satu tahun pelaksanaan program adalah kerjasama lintas sektor, pelibatan WPA dan KDS dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta integrasi isu HIV dan AIDS ke dalam setiap kegiatan di masyarakat sangat efektif untuk dilakukan di tengah terbatasnya sumber daya pemerintah dari sisi anggaran maupun tenaga. Selain itu, metode SALT juga menjadi strategi yang cukup efektif dalam proses pengusulan anggaran program HIV dan AIDS di tingkat Desa/Kelurahan dengan pelibatan penuh masyarakat untuk berpartisipasi dalam identifikasi potensi dan mimpi dari keluarga risiko tinggi sebagai bagian dari penyusunan rencana aksi Desa/Kelurahan. Penerbitan Surat Edaran tentang Alokasi Anggaran Desa untuk Program HIV dan AIDS oleh P3MD (Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa) menjadikan proses advokasi anggaran untuk penanggulangan HIV di level desa jauh lebih efektif karena dapat menjangkau desa lain di luar desa intervensi. Pelibatan secara aktif tokoh kunci dan pemangku kepentingan di Kabupaten Belu (Bupati, Wakil Bupati P3MD dan DPMD) cukup efektif untuk mempercepat publikasi isu HIV, meningkatkan dukungan bagi WPA dan KDS serta menjadikan proses advokasi anggaran untuk penanggulangan HIV di level desa jauh lebih efektif. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah, peningkatan kapasitas dan penguatan jejaring bagi anggota KDS adalah upaya yang efektif untuk meningkatkan kepercayaan diri anggota, membangun citra baik organisasi dan peningkatan peluang akses pendanaan kegiatan dari luar UPKM/CD Bethesda YAKKUM serta mendorong kemandirian.
(Ghanis Kristia)