PDP Mendekat, Kesehatan ODHIV Meningkat
Mei 27, 2024Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS
Juni 10, 2024Keterbatasan bukan Hambatan:
Strategi Puskesmas Atambua Selatan Memangkas LFU
Keterbatasan sumber daya seringkali dijadikan alasan untuk menjustifikasi tidak berjalannya program pengendalian HIV. Hal ini tidak berlaku di Puskesmas Atambua Selatan. Berbagai cara dan usaha dilakukan tim HIV di Puskesmas yang berada di Kabupaten Belu ini untuk berinovasi, salah satunya dengan menerapkan strategi pendekatan personal. Pendekatan personal oleh tenaga kesehatan kepada ODHIV dapat menjadi kunci peningkatan kepatuhan minum ARV dan menekan angka Lost to Follow Up (LFU).
Puskesmas Atambua Selatan berada di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Kasus HIV dan AIDS di kabupaten perbatasan ini, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Belu, tercatat sejak tahun 2013 sampai tahun 2022 secara kumulatif sebanyak 807 orang. Secara rinci, 369 merupakan kasus HIV, 438 tercatat sebagai kasus AIDS, dan tercatat 89 angka kematian karena AIDS. Berdasarkan jenis kelamin, terdata laki-laki berjumlah 401 orang dan perempuan berjumlah 406 orang. Dilihat dari segi usia, ODHIV dengan usia produktif 25-49 tahun lebih mendominasi. Sebagai perbandingan, untuk wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur sendiri, Kabupaten Belu masih tercatat menempati posisi lima besar di tahun 2023 kasus HIV dan AIDS, sebagaimana pemaparan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi NTT.
Puskesmas Atambua Selatan tercatat sebagai puskesmas dengan pasien HIV terbanyak di Kabupaten Belu. Berkesinambungan dengan data Dinas Kesehatan Kabupaten Belu hingga Mei 2022, terdapat 135 ODHIV di Kecamatan Atambua Selatan, tertinggi di antara kecamatan lain di Kabupaten Belu.
Aploina Berek sebagai pengelola Layanan HIV di Puskesmas Atambua Selatan menjelaskan, puskesmas tempat dia bekerja tersebut melayani satu desa dan empat kelurahan. Mengingat wilayah layanan yang cukup besar dan dengan keterbatasan yang ada, Puskesmas Atambua Selatan selalu menjalankan layanan dengan memaksimalkan sumber daya yang ada. Aploina bersama tim menjalankan program HIV berupaya membuat inovasi tertentu untuk menjawab tantangan yang ada.
Upaya pencegahan lebih menyeluruh dilakukan Puskesmas Atambua Selatan melalui screening HIV pada pasien tuberkulosis sebelum mereka mendapatkan terapi Teknologi Kepatuhan Digital (TKD). Berkat kegigihan tenaga kesehatan yang terus menerus mengajak tes HIV kepada populasi kunci dan individu dengan risiko tinggi, di tahun 2023 Puskesmas Atambua Selatan menemukan delapan kasus baru HIV.
Aploina dan Agustinus Mali Teuk selaku Kepala Puskesmas bersepakat bahwa pendekatan secara personal dalam mendampingi ODHIV baru merupakan cara yang sangat penting untuk menjaga agar mereka tidak menghindar dari pengobatan sehingga berakhir LFU. Meskipun sempat ada kasus LFU di Puskesmas Atambua Selatan, namun dengan pendekatan personal yang terus menerus, akhirnya ODHIV bisa mengubah cara pandangnya dan atas inisiatif mereka sendiri kembali rutin menjalankan pengobatan.
Lebih lanjut, Aploina menjelaskan, pendekatan personal pada ODHIV adalah dasar yang harus dikuasai oleh petugas kesehatan terutama apabila ada ODHIV dengan kebutuhan khusus. Salah satu ODHIV yang didampingi oleh Puskesmas Atambua Selatan adalah perempuan yang mengalami disabilitas gerak. Upaya untuk memenuhi kebutuhan layanan ODHIV tersebut, menurut Aploina, perlu secara khusus mengenali dan mencari tahu apa saja yang ODHIV tersebut butuhkan sehingga seorang tenaga kesehatan dapat memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan ODHIV tersebut. Hal ini penting diperhatikan agar puskesmas tidak hanya sekedar melayani sesuai standar prosedur operasional tetapi benar-benar bisa mengakomodir kebutuhan ODHIV.
Puskesmas Atambua Selatan juga giat terlibat dalam kegiatan kolaborasi dengan pemerintah kabupaten, masyarakat dan lembaga seperti UPKM/CD Bethesda YAKKUM. Selama tahun 2023, tim HIV bersama dengan Kepala Puskesmas terlibat dalam berbagai kegiatan sinergi yang diinisiasi oleh UPKM/CD Bethesda YAKKUM bersama Pemerintah Kabupaten Belu. Kegiatan yang dilakukan cukup beragam mulai dari workshop, seminar atau sosialisasi. Kegiatan penjangkauan ke masyarakat dilakukan dengan rutin mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang HIV dan AIDS serta Infeksi Menular Seksual (MS) dengan menggunakan berbagai media komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dalam penjangkauannya. Puskesmas Atambua Selatan juga terus mencoba meningkatkan layanan konseling pra dan pasca diagnosa HIV. Lebih jauh, meski terkadang masih ada penolakan, Puskesmas Atambua Selatan juga memperkuat program notifikasi pasangan.
Selain kegiatan penjangkauan, Puskesmas Atambua Selatan juga memberikan perhatian serius terhadap program tripel eliminasi bagi setiap ibu hamil yang mengakses layanan. Bagi Aploina, hal ini dirasa penting untuk meningkatkan strategi Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA).
Kepala Puskesmas Atambua Selatan juga mengungkapkan jika peran masyarakat melalui Warga Peduli AIDS (WPA) sangat signifikan dalam usaha menekan angka LFU. Meski ada keterbatasan, bagi Agustinus, peran WPA, terutama mereka yang juga seorang ibu rumah tangga, sangat strategis karena dapat menjangkau kelompok-kelompok yang mungkin belum bisa disentuh oleh pekerja medis atau tenaga kesehatan.
Secara keseluruhan, pengelola program HIV di Puskesmas Atambua Selatan merasa telah memberikan layanan terbaik di tengah keterbatasan mereka. Keterbatasan sumber daya material seperti bangunan dan fasilitas, bisa diimbangi dengan sumber daya manusia yang mau bekerja ekstra dan menyisihkan waktu dan tenaga untuk turun langsung ke masyarakat guna mendampingi dan menjangkau secara lebih luas lagi. Aploina memberikan contoh, meskipun secara personil mereka belum memiliki layanan psikososial khusus untuk ODHIV, tetapi tim layanan HIV Puskesmas Atambua Selatan mau dengan senang hati melakukan kunjungan khusus ke rumah-rumah ODHIV dan keluarga yang membutuhkan perhatian lebih karena kesulitan mengelola kesehatan mentalnya.
Puskesmas Atambua Selatan berharap ke depannya mereka dapat menjalankan mandat pencegahan HIV lebih baik lagi. Dibutuhkan peningkatan kualitas layanan dan tenaga kesehatan serta kelengkapan media KIE yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(Meta Ose Margaretha br Ginting)