Pengendalian HIV dan AIDS di Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
April 23, 2024Puskesmas Tegalrejo, “Rumah” Ramah Bagi ODHIV
Mei 21, 2024Patah Stigma, Tumbuh Empati:
Dukungan Layanan Kesehatan bagi Perempuan dengan HIV
Menjadi calon ibu untuk pertama kalinya pastilah sebuah pengalaman yang berharga bagi banyak perempuan. Mendapatkan kabar kehamilan, tentu menjadi sesuatu yang didambakan. Lalu dengan sukacita membagikan berita baik tersebut kepada orang-orang terdekat dan mempersiapkan kedatangan bayi ke tengah keluarga, semua itu proses yang membahagiakan. Tetapi, apa jadinya jika calon ibu tersebut adalah individu dengan HIV?
Terlepas dari perdebatan moral yang tidak kunjung habis tentang perempuan dengan HIV, faktanya perempuan atau calon ibu dengan HIV ada di sekitar kita. Berdasarkan data kumulatif Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2023, sekitar 31% orang dengan HIV (ODHIV) yang mengakses layanan di berbagai fasilitas kesehatan di Kota Yogyakarta adalah perempuan di usia produktif (20-35 tahun). Artinya, jumlah perempuan dengan HIV tersebut dimungkinkan sedang berada dalam periode usia yang sistem reproduksinya aktif.
Meskipun secara demografi, keberadaan perempuan dengan HIV relatif banyak namun masih ada fasilitas kesehatan yang belum melayani ibu hamil dengan HIV dengan ramah dan memanusiakan. Melalui sebuah survei di lapangan, seorang narasumber perempuan dengan HIV yang pernah hamil menceritakan pernah mengalami diskriminasi di layanan kesehatan. Pengalaman diskriminatif pada ibu hamil dengan HIV tersebut, masih terus membekas dan meninggalkan luka traumatis. Pengalaman diskriminatif ini, bagi sebagian orang mungkin hanya suatu perkara kecil, tetapi bagi mereka yang mengalami diskriminasi, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilupakan atau diabaikan begitu saja.
Kasus Diskriminasi di Fasilitas Kesehatan
Kisah tersebut diceritakan seorang ibu dengan inisial D. Ia pertama kali mengetahui dirinya positif HIV ketika sedang memeriksakan kehamilannya. Saat itu, Ibu D masih berusia 24 tahun. Kalut dengan berita tersebut, Ibu D berinisiatif untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari petugas kesehatan yang ia akses. Meski ada perasaan takut, ia pun datang ke puskesmas terdekat.
Ekspektasi Ibu D pada layanan kesehatan saat itu sangat tinggi. Ia berharap, puskesmas dapat menjadi sumber penguatan di tengah kondisi yang membuatnya kalut. Ia berharap mendapatkan informasi dan bimbingan tanpa penghakiman supaya dapat melalui proses kehamilan dengan selamat. Di luar dugaan, pelayanan yang ia dapat di puskesmas saat itu justru mengurangi kepercayaan dirinya. Salah satu petugas kesehatan yang melayani di puskesmas tersebut mengatakan bahwa Ibu D sebenarnya tidak punya hak untuk hamil karena ia tidak bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
“Anda ini bisa membahayakan bayi Anda, kenapa harus diteruskan kehamilannya?” Ungkap Ibu D mengutip pernyataan tenaga kesehatan yang ia temui. Alih-alih mendapat dukungan yang ia rindukan, Ibu D merasa amat bersalah karena pernyataan dari tenaga kesehatan tersebut. Ia sempat mengucilkan diri dan tidak mau lagi memeriksakan kandungannya. Untunglah di balik itu semua, Ibu S memiliki dukungan penuh dari pasangannya, kandungannya. Untunglah, Ibu D mendapatkan dukungan penuh dari pasangannya. Mereka pun berinisiatif untuk berpindah layanan kesehatan dari puskesmas berpindah ke klinik swasta dan mendapatkan layanan yang lebih baik. Meskipun peristiwa tersebut telah enam tahun berlalu, namun Ibu D masih menunjukan rasa trauma mendalam saat berbagi tentang kisah ini.
Kini, Ibu D mengakses layanan kesehatan di Puskesmas Umbulharjo I yang menjadi salah satu mitra UPKM/CD Bethesda YAKKUM. Ia tidak pernah lagi mendapatkan diskriminasi karena status HIV yang ia miliki. Meski demikian, pengalaman yang ia lalui sebelumnya masih terus membekas dan meninggalkan ketakutan dan kecurigaan apabila harus mengakses layanan kesehatan baru.
Penilaian terhadap petugas kesehatan yang tidak ramah juga dialami juga pernah dialami Ibu A. Saat memeriksakan kandungan, sebenarnya ibu dengan HIV ini tidak mendapatkan komentar yang negatif dari petugas kesehatan. Namun ketika dalam proses persalinan, beberapa petugas kesehatan yang baru ditemuinya, terlihat takut menyentuhnya dan memakai pakaian pelindung yang berlebihan. Ibu A menyadari, mungkin ada standar prosedur yang ditetapkan dalam menolong persalinan ibu dengan HIV, namun ia bisa merasakan jika ada orang yang memandang rendah atau takut dengan dia karena statusnya tersebut. Interaksi yang kurang menyenangkan itu terus tersimpan karena seharusnya dia bahagia dengan kelahiran anaknya, tetapi menjadi beban dengan perasaan tidak nyaman dari sikap yang ditunjukkan petugas kesehatan yang membantunya.
Mengapa Masih Ada Diskriminasi di Layanan Kesehatan?
Diskriminasi sebagai perlakuan yang tidak adil atau merugikan karena ras, jenis kelamin, usia, agama, orientasi seksual, status kesehatan, kondisi fisik atau atribut lainnya bisa menimpa siapa saja dan terjadi di mana saja. Perlakuan kurang baik, tidak ramah, pelecehan atau merugikan salah satu pihak tidak selalu berkaitan dengan kekerasan terstruktur tetapi bisa juga melalui tindakan kecil yang menyakiti atau merugikan seseorang. Pengalaman Ibu D dan Ibu A di layanan kesehatan yang mereka akses tersebut bisa menjadi contoh. Meskipun tidak ada kerugian fisik yang terlihat, keduanya tetap mendapati diri mereka berada dalam situasi yang tidak nyaman, dan seharusnya tidak terjadi pada mereka hanya karena atribut yang mereka miliki sebagai perempuan dengan HIV.
Diskriminasi terhadap perempuan dengan HIV di fasilitas kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain masih tingginya stigma, ketakutan, kesalahpahaman tentang HIV dan AIDS. Beberapa penyedia layanan kesehatan mungkin memiliki pandangan negatif atau ketakutan yang berlebihan tentang HIV sehingga mengarah pada perilaku diskriminatif. Tenaga kesehatan yang tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang penularan, pencegahan, dan pengobatan HIV dapat memiliki pengertian yang salah terhadap HIV. Bahkan, saat mereka sudah diberikan pemahaman, masih bisa ditemukan tenaga kesehatan yang mungkin memiliki bias atau prasangka pribadi yang mempengaruhi perilaku mereka. Hal ini dapat berkontribusi pada perilaku diskriminatif dalam layanan.
Selain itu, beberapa petugas kesehatan mungkin khawatir terhadap risiko penularan selama prosedur medis dijalankan. Padahal, secara keilmuan sudah terbukti bahwa dengan tindakan pengendalian infeksi yang tepat, risiko penularan HIV di lingkungan layanan kesehatan sangat rendah. Masih diperlukan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang bagaimana menyediakan layanan yang tidak diskriminatif dan inklusif bagi orang dengan HIV.
Upaya Menghilangkan Diskriminasi di Layanan Kesehatan
UPKM/CD Bethesda YAKKUM menyadari pentingnya menghilangkan diskriminasi di layanan kesehatan terhadap ODHIV, terutama perempuan dengan HIV yang sedang hamil. Beberapa kegiatan, baik itu dalam skala besar maupun kecil, telah dilakukan sebagai upaya menghapuskan sikap diskriminatif dan mempromisikan sikap empati. UPKM/CD Bethesda YAKKUM merangkul tenaga kesehatan dalam berbagai lokakarya yang bertemakan layanan ramah ODHIV dan inklusif.
UPKM/CD Bethesda YAKKUM bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan melibatkan beberapa layanan kesehatan mitra, telah mengembangkan suatu sistem atau mekanisme penilaian layanan ramah ODHIV menggunakan Alat Monitoring Layanan Ramah ODHIV. Tujuan dari penyusunan mekanisme ini adalah untuk memastikan layanan kesehatan mengedepankan pemberian layanan yang tidak diskriminatif pada ODHIV.
Menghilangkan atau minimal mereduksi stigma merupakan proses yang terus-menerus dipromosikan dalam kegiatan-kegiatan UPKM/CD Bethesda. Bahkan, tidak hanya melalui layanan kesehatan tetapi juga melalui ODHIV. ODHIV yang menjadi mitra UPKM/CD Bethesda YAKKUM juga mendapatkan kesempatan untuk belajar tentang penghilangan stigma dan penerimaan diri. Berbekal pemahaman tersebut pula ODHIV dampingan bertumbuh menjadi ODHIV yang percaya diri dan paham terhadap hak-haknya. Melalui kepercayaan diri dan kemandirian yang dimiliki, ODHIV dapat melakukan konfrontasi dan edukasi apabila mereka menjumpai layanan kesehatan atau oknum tenaga kesehatan yang masih melakukan diskriminasi.
Saat ini, Ibu D dan Ibu A mengakui telah terjadi banyak perubahan pada layanan kesehatan yang mereka akses. Menurut keduanya, tenaga kesehatan yang melayani mereka sekarang menunjukan performa yang baik dan tidak lagi terasa menghakimi.
“Petugas kesehatan yang sekarang sudah lebih pinter, Mba,” terang ibu D. Ibu A pun menyetujui pernyataan ini dengan mengatakan, “Dulu ketika saya hamil, justru saya lebih banyak tahu tentang program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak atau PPIA karena saya melakukan riset, Mba,” ujarnya. “Tetapi petugas kesehatan yang sekarang sudah lebih sigap dan tidak kewalahan jika ditanya soal PPIA,” ungkapnya lebih lanjut.
Meningkatkan layanan kesehatan untuk ibu dengan HIV melibatkan pendekatan multi aspek yang tidak sederhana. Aspek tersebut mencakup aspek medis, sosial dan psikologis. Tentu perubahan pada fasilitas kesehatan bukan sesuatu bisa cepat atau instan, tetapi dengan adanya intervensi terus menerus dan sinergi antar pemangku kebijakan, upaya mematahkan diskriminasi dengan menumbuhkan sikap empati melalui pelayanan kesehatan yang komprehensif dan tidak diskriminatif pada ibu dengan HIV, bukanlah suatu hal yang mustahil.
(Meta Ose Margaretha br Ginting)