Layanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS
April 15, 2024Patah Stigma, Tumbuh Empati: Dukungan Layanan Kesehatan bagi Perempuan dengan HIV
Mei 14, 2024Pengendalian HIV dan AIDS di Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
Penambahan jumlah puskesmas dan rumah sakit yang memberikan layanan PDP di Kabupaten Belu mempermudah akses layanan kesehatan bagi ODHIV. Namun, tantangan dalam mewujudkan layanan PDP yang berkualitas di daerah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste ini, antara lain berkaitan dengan masih tingginya kasus Lost to Follow Up (LFU) atau putus minum ARV. Ketidakpatuhan ODHIV dalam mengkonsumsi ARV antara lain karena masih tingginya stigma dan diskriminiasi sehingga ODHIV tidak mau mengambil obat, kesadaran untuk patuh minum ARV masih kurang, kendala transportasi untuk mengakses layanan dan tingginya mobilitas warga Belu, termasuk ODHIV, ke Timor Leste.
Saat ini belum ada perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Timor Leste secara operasional yang bisa diterapkan untuk akses ARV bagi warga Belu yang tinggal di Timor Leste maupun sebaliknya. Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan bahwa penyediaan ARV dikhususkan bagi warga negara Indonesia (WNI) yang ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sehingga tidak bisa diakses oleh penduduk Timor Leste yang tinggal di Indonesia. Hasil penelurusan ke layanan kesehatan, ada informasi perbedaan regimen yang digunakan antara kedua negara sehingga ODHIV tidak bisa mengakses ARV selain kembali ke daerah asal. Dari sisi kebijakan, Pemerintah Indonesia menetapkan ARV bisa diberikan dalam waktu maksimal tiga bulan, sementara banyak warga Indonesia yang bekerja di Timor Leste dan akan tinggal di sana dalam waktu cukup lama. Selain itu, layanan kesehatan pengobatan ARV di Timor Leste terpusat di Kota Dili, sehingga penduduk yang tinggal di daerah perbatasan mengalami kendala jarak untuk mengakses. Tantangan kesulitan akses ARV di daerah perbatasan ini perlu segera ditanggulangi agar tidak karena meningkatkan risiko terjadinya LFU.
Perhatian terhadap kasus HIV dan AIDS di perbatasan Indonesia dan Timor Leste sangat mendesak. Data Dinas Kesehatan Provinsi NTT menunjukkan temuan kasus HIV dan AIDS di tiga kabupaten yang berada di perbatasan tersebut cukup tinggi. Selama tahun 2023, jumlah kasus HIV baru di Kabupaten Belu sebanyak 48 kasus, Kabupaten Timor Tengah Utara 34 kasus, dan Kabupaten Malaka 20 kasus.[1] Sedangkan di Timor Leste, temuan kasus HIV sampai kuartal 1 2022 di Bobonaro 105 kasus, Covalima 82 kasus dan Oecuse 39 kasus.[2] Hal ini menunjukkan bahwa perilaku berisiko menularkan HIV masih terus terjadi di masyarakat. Saah satu contoh perilaku berisiko antara lain, beberapa pekerja seks dari Timor Leste memiliki mobilitas yang cukup tinggi di Indonesia dan tinggal beberapa hari di perbatasan. Hal tersebut memungkinkan terjadinya transaksi seks yang dilakukan di daerah perbatasan.
Kondisi lain yang terjadi, sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai sistem rujukan bagi ODHIV yang mengalami LFU di kedua negara. Jika kondisi kesehatan menurun karena putus ARV, layanan kesehatan belum bisa memberikan pelayanan sesuai dengan standar. Selain itu, ODHIV Indonesia yang tinggal di Timor Leste belum bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang ada di tempat tersebut dan begitu juga sebaliknya. Melalui kegiatan di KDS, ODHIV dapat saling melakukan sharing untuk meningkatkan kepatuhan ARV dan informasi rujukan ke layanan kesehatan yang dibutuhkan. Monitoring internal yang dilakukan oleh UPKM/CD Bethesda YAKKUM di Kabupaten Belu menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kasus LFU di Kabupaten Belu terjadi karena tingginya mobilitas pasien yang mengakses ARV di RSUD Atambua ke luar daerah. Banyak pasien yang bekerja di luar daerah atau bahkan di luar negeri yang menyebabkan pemantauan sulit dilakukan.
Berdasarkan temuan-temuan yang telah diuraikan di atas, maka UPKM/CD Bethesda YAKKUM menginisiasi beberapa kegiatan. Kegiatan pertama adalah Audiensi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Perbatasan Indonesia dan Timor Leste kepada beberapa Kementerian. Audiensi dilakukan bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi NTT ke Kantor Staf Presiden, Kementerian Kesehatan RI dan Kementerian Luar Negeri RI pada tanggal 1-4 November 2023. Dalam kegiatan ini, tim dari UPKM/CD Bethesda YAKKUM bersama Dinas Kesehatan Provinsi NTT menyampaikan gambaran umum kondisi pengendalian HIV di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, tantangan yang dihadapi serta rekomendasi yang dibutuhkan.
Kegiatan lain yang dilakukan adalah Koordinasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Timor Leste pada 18-22 November 2023. Koordinasi dilakukan bersama WHO Timor Leste, INCSIDA Timor Leste, Kementrian Kesehatan Timor Leste dan Mantan Menteri Luar Negeri Timor Leste. Senada dengan audiensi yang dilakukan di level kementerian, koordinasi dengan beberapa pihak di Timor Leste ini juga dilakukan untuk memberikan gambaran kondisi di perbatasan. Dengan beberapa tantangan yang terjadi, harapannya dapat dihimpun kesepakatan antara kedua pihak untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi.
Beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat ditindaklanjuti antara lain, Pemerintah Indonesia dan Timor Leste perlu membuat kesepakatan untuk penanganan HIV dan AIDS secara lebih kongkret. Kesepakatan yang lebih operasional setidaknya terkait edukasi HIV dan AIDS bagi masyarakat dan penyediaan ARV bagi ODHIV di daerah perbatasan. Edukasi HIV dan AIDS kepada masyarakat di daerah perbatasan perlu dilakukan secara masif di kedua negara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat melakukan upaya pencegahan HIV. Selain itu, perlu dilakukan tes HIV yang berkelanjutan di kedua daerah di perbatasan sebagai upaya deteksi dini kasus HIV dan AIDS.
Penyediaan ARV mendesak untuk segera direalisasikan dalam bentuk penyediaan buffer stock ARV oleh Pemerintah Indonesia bagi masyarakat yang tinggal atau memiliki mobilitas cukup tinggi di Timor Leste dan sebaliknya. Hal ini mengingat masing-masing negara memiliki kebijakan dan anggaran tersendiri terkait penyediaan ARV bagi ODHIV. Melalui penyediaan buffer stock ARV bagi warga negaranya masing-masing maka ODHIV akan lebih mudah mengakses ARV bila sedang berada di negara tetangga dan mengatasi kasus LFU.
Berkaitan dengan upaya optimalisasi kualitas layanan kesehatan terkait HIV dan AIDS di perbatasan, perlu peningkatan kapasitas petugas dalam memberikan layanan Tes HIV, Pemeriksaan IMS serta Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP). Beberapa rekomendasi tersebut tentunya masih membutuhkan waktu dan komitmen bersama untuk dapat dilaksanakan.
(Ghanis Kristia)
[1] 2023. Situasi Pencegahan dan Pengendalian HIV dan PIMS di Provinsi NTT Januari sampai 30 Oktober 2023, Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Presentasi
[2] 2023, “INSTITUTO NACIONAL DE COMBATE AO HIV-SIDA, IP” oleh Atanasio de Jesus, Presidente INCSIDA, Presentasi.