Kreasi Pangan Lokal Pilihan Utama Peningkatan Gizi ODHIV
April 10, 2024Pengendalian HIV dan AIDS di Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
April 23, 2024Layanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS
Konsep Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang pernah ditetapkan Kementerian Kesehatan pada Juli 2012 bertujuan untuk memperkuat sistem layanan kesehatan dasar yang terintegrasi untuk pengendalian HIV dan AIDS. Layanan komprehensif ini mencakup upaya promotif, preventif, kuratif atau pengobatan dan rehabilitatif. Dalam perkembangannya, kebijakan LKB ini lebih dikenal dengan layanan Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP). Meskipun PDP merupakan bagian dari kebijakan LKB. Secara konsep dan kebijakan, LKB merupakan bagian penting untuk pengendalian HIV dan AIDS. Tidak berlebihan jika UPKM/CD Bethesda YAKKUM memberikan perhatian khusus implementasi LKB ini dalam program Pengendalian HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta.
Secara kebijakan, bentuk kegiatan LKB di layanan kesehatan sudah komprehensif meliputi layanan HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS), antara lain berupa Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), layanan Konseling dan Tes HIV (KTS), Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), Pengurangan Dampak Buruk NAPZA dan layanan IMS. Demikian juga layanan berkesinambungan diberikan secara paripurna sejak dari rumah atau komunitas (hotspot) menuju ke fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit sampai kembali ke rumah atau komunitas berasal. Kegiatan ini melibatkan seluruh pihak terkait, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Berbagai perwakilan masyarakat bisa berkontribusi dalam upaya mewujudkan layanan komprehensif ini, baik kader, LSM, Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), ODHIV, pendamping ODHIV, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta organisasi/kelompok yang ada di masyarakat.
Selain aspek medis, LKB juga memberikan dukungan dalam aspek psikologis maupun sosial ODHIV selama perawatan dan pengobatan untuk mengurangi atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Ketika ODHIV mengalami perlakuan diskriminatif atau hujatan dari keluarga atau lingkungan maka layanan bisa memberikan dukungan psikologis, atau saat ODHIV mengalami kendala ekonomi karena statusnya maka layanan bisa memberikan alternatif pemecahan masalah. [1]
Bagaimana realitas LKB saat ini? Sejak beberapa tahun belakangan ini telah banyak kemajuan dicapai dalam program pengendalian HIV di Indonesia. Berbagai layanan terkait HIV telah dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan, terutama populasi berisiko dengan jumlah yang terus meningkat. Namun demikian efektivitas maupun kualitas intervensi dan layanan tersebut masih belum merata dan belum semuanya saling terkait.
Selain itu, masih banyak tantangan yang harus dihadapi seperti jangkauan layanan, cakupan, maupun keajegan klien mengakses layanan. Oleh sebab itu, layanan HIV dan IMS yang komprehensif di tingkat kabupaten/kota sangat dibutuhkan untuk mendukung pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia, yaitu menurunkan angka kesakitan, kematian dan diskriminasi serta meningkatkan kualitas hidup ODHIV. Jumlah cakupan LKB semestinya terus diperluas dan ditingkatkan kualitas layanannya mengingat peningkatan infeksi baru HIV menunjukkan tren kenaikan sementara pemerintah Indonesia menargetkan Three Zero pada 2030. Three Zero yang dimaksud yaitu tidak adanya infeksi baru HIV, tidak ada kematian karena AIDS serta tidak ada stigma dan diskriminasi pada ODHIV.
Pelaksanaan konsep dan kebijakan LKB dalam program pencegahan berbasis masyarakat di beberapa daerah belum berjalan optimal. Ada kegiatan kolaboratif yang sebenarnya bisa dilakukan antara pemerintah, pengelola fasilitas kesehatan, masyarakat sipil, maupun komunitas, populasi kunci dan ODHIV, seperti Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) serta layanan PDP HIV dan AIDS. Kendala yang muncul antara lain berupa keterbatasan anggaran, kebijakan pemerintah daerah yang kurang mendukung, sikap dan perilaku tenaga medis yang cenderung diskriminatif dan keengganan melibatkan masyarakat dalam program pengendalian HIV.
Sisi yang lain, populasi kunci maupun kelompok berisiko serta ODHIV mengharapkan adanya layanan kesehatan yang ramah serta memberikan ruang untuk melakukan konseling individual. Mereka berharap, ODHIV ataupun kelompok berisiko tidak dijadikan obyek tetapi sebagai individu yang bisa berdaya. Selain itu berdasarkan realita, ODHIV sendiri memiliki latar belakang yang beragam mulai dari anak-anak sampai lansia, termasuk orang dengan disabilitas, identitas gender yang beragam serta kelompok ekonomi yang juga bervariasi. Sehingga layanan kesehatan yang ramah dan inklusif menjadi kebutuhan mendesak agar dapat diakses dengan mudah sesuai kebutuhan khusus mereka. Selain memberikan kenyamanan, LKB yang ramah terhadap ODHIV diharapkan dapat mencegah Lost to Follow Up (LFU) atau putus minum obat ARV.
Bagaimana Pelaksanaan LKB di Kabupaten Belu?
Saat UPKM/CD Bethesda YAKKUM masuk di Kabupaten Belu dalam Program Pencegahan Terpadu Penularan HIV dan AIDS tahun 2019, implementasi LKB baru dilaksanakan terpusat di RSUD Mgr. Gabriel Manek Atambua. Setelah melalui berbagai diskusi, workshop dan koordinasi dengan Dinas Kesehatan, pimpinan rumah sakit maupun Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), mulailah dirancang untuk menambah layanan PDP di puskesmas dan rumah sakit swasta. Dinas Kesehatan Kabupaten Belu berperan aktif dalam penetapan kebijakan penambahan layanan PDP atau LKB sesuai standar Kementerian Kesehatan RI dan RSUD Atambua yang memberikan kesempatan bagi Tim HIV puskesmas dan RSK Marianum Halilulik untuk melakukan magang di Rumah Sakit. Ada tiga tim AIDS puskesmas dan satu rumah sakit yang mengikuti on-the-job training (OJT) atau magang di RSUD Atambua untuk persiapan pembentukan layanan PDP baru. Selanjutnya mulai tahun 2022, LKB atau layanan PDP di puskesmas mulai dilaksanakan. Sehingga ODHIV bisa langsung mengakses layanan kesehatan ke puskesmas terdekat.
Saat ini sudah ada tambahan enam puskesmas serta satu rumah sakit swasta yang memberikan layanan PDP. Ada lima puskesmas (Atapupu, Wedomu, Atambua Selatan, Silawan dan Umanen) dan satu rumah sakit swasta (RSK Marianum Halilulik) yang berada di wilayah intervensi program UPKM/CD Bethesda YAKKUM. Penambahan layanan PDP ini tidak lepas dari kontribusi UPKM/CD Bethesda YAKKUM sejak fase pertama sampai dengan fase kedua Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan melalui program bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Belu, antara lain memfasilitasi magang bagi tenaga kesehatan (dokter, perawat, analis kesehatan, apoteker, petugas pencatatan dan pelaporan) yang bertugas di layanan PDP baru. Kegiatan lain yang dilakukan adalah supervisi dan monitoring rutin pelaksanaan LKB oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Belu bersama UPKM/CD Bethesda YAKKUM. Melalui monitoring rutin yang dilakukan diharapkan perkembangan LKB dapat dipantau dan kendala yang dihadapi segera mendapatkan solusi.
Ada beberapa kendala yang masih dihadapi dalam pelaksanaan layanan PDP baru, antara lain keterbatasan petugas kesehatan terlatih, masih terjadinya stigma dan diskriminasi di layanan kesehatan, dan petugas kesehatan yang dilatih belum percaya diri serta mutasi petugas yang pernah mendapatkan pelatihan. Meski masih ada kendala, tetapi penambahan layanan PDP di Kabupaten Belu ini menunjukkan adanya komitmen dari Dinas Kesehatan setempat untuk memberikan layanan yang terbaik pada ODHIV. Setidaknya dengan menambah layanan sampai ke tingkat Puskesmas, ODHIV semakin mudah mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan, baik layanan akses pengobatan Anti Retroviral (ARV) maupun pemeriksaan dan pengobatan Infeksi Oportunistik (IO).
Pengembangan LKB Ramah ODHIV di Kota Yogyakarta
Sebagai salah satu daerah yang memiliki perhatian besar dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS, kondisi LKB pada layanan kesehatan di Kota Yogyakarta lebih dulu berkembang dibanding Kabupaten Belu. Saat ini layanan PDP sudah dilakukan di 14 Rumah Sakit dan 18 Puskesmas yang ada di Kota Yogyakarta. Enam layanan kesehatan yang menjadi mitra UPKM/CD Bethesda YAKKUM pun sudah lama ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk menjadi layanan PDP.
Meski penerapan LKB sesuai standar Kementrian Kesehatan RI sudah berjalan cukup optimal, namun kualitas layanan kesehatan kepada ODHIV masih perlu ditingkatkan dan dimonitor. Beberapa kasus masih ditemui, antara lain adanya keluhan klien yang mengalami ketidaknyamanan dalam mengakses layanan kesehatan. Ketidaknyamanan terjadi karena kondisi ruang konseling yang tidak terjaga privasinya maupun karena ketidakramahan atau stigma dan diskriminasi dari petugas. Tantangan lain yang ditemui adalah keterbatasan waktu dari dokter yang menangani program HIV karena mendapatkan beban pekerjaan yang beragam sesuai dengan tugas pokok dan fungsi puskesmas.
Melalui program ini, UPKM/CD Bethesda YAKKUM melakukan serangkaian kegiatan untuk membuat implementasi LKB lebih optimal. Rangkaian kegiatan dimulai dengan Workshop LKB HIV Ramah ODHIV yang dihadiri oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, layanan kesehatan dan perwakilan populasi kunci serta ODHIV. Perwakilan populasi kunci dan ODHIV memberikan masukan kepada layanan kesehatan untuk mengembangkan konsep LKB HIV Ramah ODHIV sederhana yang dapat diimplementasikan. Kegiatan ini bertujuan untuk membagikan pengalaman implementasi LKB HIV dan pembelajaran tentang tuntutan pengembangan konsep LKB di masa mendatang serta menyusun rumusan konsep LKB Ramah ODHIV. Hasil rumusan konsep akan dibuat panduan untuk mengukur kualitas LKB.
Workshop diawali dengan sharing pengalaman oleh Puskesmas Gedongtengen mewakili layanan pemerintah dan Yayasan Kerti Praja Denpasar mewakili layanan swasta, tentang praktik baik dan tantangan dalam menjalankan LKB HIV. Sharing pengalaman ini menjadi input dalam diskusi kelompok untuk merumuskan konsep LKB Ramah ODHIV yang dapat diterapkan di Kota Yogyakarta.
Alat Monitoring LKB Ramah ODHIV
Konsep LKB Ramah ODHIV yang dirumuskan dalam workshop, ditindaklanjuti oleh tim yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, perwakilan empat Puskesmas PDP dan UPKM/CD Bethesda YAKKUM menjadi alat monitoring LKB Ramah ODHIV. Alat monitoring LKB Ramah ODHIV akan digunakan untuk memonitor kualitas layanan kesehatan. Penggunaannya bisa dilakukan secara mandiri oleh layanan kesehatan.
Ada dua aspek yang dimonitor melalui alat ini yaitu aspek tata kelola dan aspek praktik manajemen layanan kesehatan. Aspek tata kelola mencakup kebijakan layanan ramah ODHIV; monitoring, evaluasi, dan kajian pengembangan layanan kesehatan; internalisasi nilai-nilai tentang layanan yang ramah ODHIV; penanganan keluhan; dan kebijakan pengelolaan sumberdaya keuangan yang digunakan untuk peningkatan layanan inklusif. Sedangkan aspek praktik manajemen layanan kesehatan mencakup pelaksanaan seluruh kegiatan LKB meliputi Komunikasi Informasi dan Edukasi; Konseling dan Tes HIV; Pencegahan Infeksi; Perawatan dan Pengobatan HIV; dan Dukungan ODHIV dan Keluarga.
Proses penyusunan alat monitoring LKB Ramah ODHIV ini telah sampai pada tahapan sosialisasi oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta kepada layanan kesehatan serta kesepakatan untuk digunakan dalam proses monitoring yang direncanakan setiap satu tahun sekali.
Monitoring Akses Layanan Kesehatan pada Perempuan dengan HIV di Kota Yogyakarta
Secara khusus, UPKM/CD Bethesda YAKKUM mendapat ajakan Dr. dr. Brian dari Kantor Staf Presiden (KSP) untuk melakukan survei akses layanan perempuan dengan HIV. Survei dilakukan dalam bentuk kuesioner dan wawancara mendalam kepada perempuan dengan HIV serta Focus Group Discussion (FGD) bagi petugas layanan kesehatan di Kota Yogyakarta.
Kuesioner maupun wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan, sikap dan perilaku responden berkaitan dengan isu HIV dan AIDS termasuk akses layanan kesehatan bagi perempuan dengan HIV. Gambaran umum hasil wawancara mendalam terhadap sepuluh perempuan dengan HIV menunjukkan pengetahuan responden tentang HIV dan AIDS sudah baik. Sembilan responden menyatakan bahwa HIV dapat dicegah supaya tidak menularkan ke orang lain dengan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dan hanya satu responden yang tidak tahu cara pencegahan HIV. Enam responden juga menyebutkan bahwa konsultasi dokter dan mengkonsumi ARV secara rutin dapat mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Bahkan tiga responden sudah spesifik menyebutkan bahwa Program PPIA merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan dari ibu ke anak. Semua responden menyatakan bahwa HIV tidak dapat disembuhkan, obat yang diminum berfungsi untuk mengendalikan virus.
Hasil wawancara mendalam juga menunjukkan bahwa semua responden mengalami proses penerimaan diri yang cukup sulit. Awalnya mereka merasa sangat berat ketika mengetahui status HIV pertama kali, tetapi karena dukungan keluarga mereka dapat menerima status dengan baik. Sikap responden terhadap sesama perempuan dengan HIV biasa saja, mereka sama dengan perempuan lainnya. Perempuan dengan HIV bisa dianggap sehat. Sehat yang dimaksud adalah ketika seseorang dapat melakukan segala aktivitas rutin tanpa kendala. Sedangkan sikap terhadap layanan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan perawatan bayi baru lahir dan nifas yang pernah diperoleh adalah baik. Semua responden menyatakan layanan dapat diakses dengan mudah dan tidak ada diskriminasi.
Hasil wawancara mendalam terkait perilaku dalam mengakses layanan kesehatan menunjukkan bahwa semua responden dapat mengakses ARV dengan mudah. Pemeriksaan viral load mereka lakukan di rumah sakit atau puskesmas dengan rutin. Selama ini, semua biaya perawatan dan pengobatan ditanggung oleh BPJS, kecuali untuk beberapa obat tertentu.
Hal lain yang muncul dari wawancara mendalam adalah pernyataan semua responden yang menyatakan tidak pernah mengalami kekosongan ARV. Jika stok menipis biasanya ARV diberikan dalam jumlah lebih sedikit, misalnya untuk satu minggu, atau pemberian ARV tidak berbentuk Fixed Dose Combination (FDC) atau obat gabungan dengan dosis pasti, tetapi dalam bentuk pecahan. Semua responden juga menyatakan tidak mengalami kendala dalam pemeriksaan viral load. Pemeriksaan bisa diakses dengan gratis, meskipun hanya dilakukan satu tahun sekali padahal idealnya enam bulan sekali. Semua respsonden juga mengaku mengalami kendala jarak, waktu dan sarana transportasi untuk menjangkau fasilitas layanan kesehatan di Kota Yogyakarta karena jarak dari rumah cukup dekat dan bisa dijangkau dengan transportasi pribadi sepeda motor.
Sebagian besar responden juga menyatakan tidak pernah ditolak untuk mendapatkan layanan kesehatan, meskipun beberapa responden menyatakan pernah mengalami ketidaknyamanan. Perasaan tidak nyaman seringkali justru muncul dari diri sendiri karena ODHIV takut statusnya diketahui orang yang dikenal. Ada satu responden pernah mendapatkan perlakuan berbeda ketika perawat tahu status HIV dan langsung menggunakan sarung tangan. Ada juga responden yang pernah diminta untuk menunda operasi gigi karena keharusan tes TBC dan permintaan untuk menggugurkan kandungan agar tidak menularkan pada bayi. Di sisi lain, semua responden menyatakan tidak ada kendala finansial untuk mendapatkan layanan PDP dan layanan kesehatan lainnya karena ditanggung BPJS, kecuali untuk obat yang tidak ditanggung.
FGD bagi petugas layanan kesehatan untuk mendapatkan gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan HIV. FGD dilaksanakan dengan sasaran enam orang petugas utusan dari RSUD Kota Yogyakarta, RS Bethesda, Puskesmas Gedongtengen, Puskesmas Mantrijeron dan Puskesmas Tegalrejo. Hasil dari FGD menunjukkan, tiga puskesmas sudah melaksanakan layanan PDP dengan tim HIV yang terlatih. Perwakilan dari dua rumah sakit yang hadir juga menyatakan belum semua tim yang bertugas di klinik pernah mendapat pelatihan sebagai tim AIDS. Secara umum, responden petugas kesehatan sudah relatif lama menjadi tim AIDS dan hanya satu dokter dari rumah sakit swasta yang relatif baru. Dalam pelaksanaan layanan, ada poli khusus untuk HIV meskipun seringkali dijadikan satu dengan penyakit dalam.
Program tripel eliminasi sudah dilaksanakan bagi ibu hamil pada trimester pertama atau saat pemeriksaan pertama tanpa dipungut biaya. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ada puskesmas yang pernah menemukan ibu hamil positif HIV. Namun, proses persalinan bagi ibu hamil yang positif HIV masih dirujuk ke rumah sakit bekerjasama dengan LSM pendamping. Ada petugas yang pernah menangani persalinan ibu dengan HIV dan bayi diberikan profilaksis sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Hambatan dan kendala secara umum terkait skrining, diagnostik, pengobatan dan pemeriksaan viral load adalah tidak semua pasien mampu membayar biaya pemeriksaan viral load. Kendala lain, notifikasi pasangan masih sulit dilakukan karena belum semua pasien membuka status pada pasangan, apalagi pasien dengan faktor risiko hubungan seks multi partner. Konseling bagi ibu hamil tentang pemberian makanan pada bayi baru lahir direkomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya saat lahir, namun sebagian besar ibu hamil dengan HIV memilih untuk memberikan susu formula.
Hasil FGD menunjukkan bahwa dari sisi sikap, petugas kesehatan menyatakan biasa saja ketika pertama kali melayani ibu hamil dengan HIV. Mereka tidak takut tertular HIV dari pasien, meskipun satu petugas menyatakan terkadang masih timbul pertanyaan dari mana mereka tertular. Petugas kesehatan juga menyatakan bahwa perempuan dengan HIV bisa dianggap sehat. Pengertian sehat adalah ketika secara fisik perempuan dengan HIV tidak mengalami gejala yang mengarah ke stadium AIDS, dan semua kondisi kesehatannya dapat terkontrol dengan baik. Ketika diminta memberikan penilaian terhadap layanan bagi perempuan dengan HIV dengan skala 0-10, semua petugas kesehatan memberikan nilai 8-10. Di sisi lain, petugas kesehatan juga menyatakan biasa saja saat melayani transpuan. Beberapa petugas kesehatan menyatakan karena sudah terbiasa melayani transpuan dan sebagian menyatakan sangat jarang melayani.
Dari sisi perilaku, hasil FGD menunjukkan bahwa petugas kesehatan pernah mendapatkan kritik saat memberikan pelayanan kepada ODHIV, biasanya melalui google review. Biasanya kritik akan ditindaklanjuti oleh tim yang bertugas di layanan kesehatan. Jika menemukan ODHIV transpuan, petugas kesehatan menyatakan tidak ada perilaku berbeda yang diberikan. Layanan tetap akan diberikan sesuai standar kepada semua pasien.
Jika hasil FGD bagi petugas disandingkan dengan hasil wawancara mendalam kepada responden PDHIV yang mengakses layanan kesehatan, dapat disimpulkan bahwa secara umum layanan kesehatan sudah memberikan pelayanan sesuai standar yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI. Lima layanan kesehatan sudah melaksanakan layanan PDP cukup lama dengan mayoritas tim yang terlatih. Layanan kesehatan pada ibu hamil dengan HIV tetap dilakukan sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Ketidaknyamanan dari ODHIV biasanya terjadi ketika berhadapan dengan petugas yang masih baru dan belum sepenuhnya memahami HIV. Pembiayaan layanan kesehatan secara umum ditanggung oleh BPJS kecuali untuk obat-obatan tertentu. Sebagai usulan tindak lanjut, survei tentang akses orang dengan HIV terhadap layanan kesehatan perlu dilakukan lagi setelah intervensi program untuk memonitor kualitas layanan kesehatan, termasuk monitoring LKB Ramah ODHIV yang dilakukan secara mandiri oleh layanan kesehatan.
Kerjasama untuk mewujudkan layanan komprehensif berkesinambungan melalui layanan PDP yang mendekatkan akses bagi ODHIV dalam mendapatkan layanan perawatan dan pengobatan di Kabupaten Belu, sudah semakin berkembang. Lebih jauh lagi, pengembangan layanan PDP di Kota Yogyakarta sudah mengarah pada upaya pemberian layanan yang ramah ODHIV. Meski sudah ada kemajuan yang cukup berarti, namun upaya untuk menghadirkan LKB berkualitas tetap perlu terus ditingkatkan dan dimonitor untuk mendukung keberhasilan program pengendalian HIV dan AIDS.
(Ghanis Kristia)
[1] Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, 2012, Kementrian Kesehatan RI