Vaksin Covid-19 Untuk Kelompok Rentan dan Marginal
Januari 16, 2024Kader Handal Peracik Jamu untuk Lansia
Februari 26, 2024Reduksi Stigma dan Diskriminasi dengan Spirit Gerejawi
Wilayah Asia Pasifik memiliki 5,8 juta orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) pada tahun 2019 (UNAIDS Laporan, 2020). Cina, India, dan Indonesia menyumbang hampir tiga perempat dari total ODHIV di wilayah tersebut. Tiga perempat dari infeksi ini terjadi di antara populasi kunci dan pasangannya. Perilaku berisiko seperti berganti-ganti pasangan seks dan rendahnya tingkat penggunaan kondom di kalangan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan Waria perlu diperhatikan. Tanpa adanya kebijakan nasional yang mendukung, banyak ODHIV terus mengalami stigma dan diskriminasi yang menghalangi mereka untuk segera melakukan pengobatan dan pencegahan. Perlu adanya upaya advokasi yang efektif dalam perbaikan hukum maupun norma-norma sosial, seksual, dan gender yang akan berdampak pada meningkatkan kerentanan populasi kunci terhadap HIV di seluruh wilayah.
Untuk merespon situasi seperti ini Christian Conference of Asia (CCA) melalui Aksi Bersama dalam Memerangi HIV dan AIDS di Asia (ATCHAA) memiliki program-program yang berfokus pada gereja, dewan gereja, lembaga dan komunitas HIV dan AIDS se-ASIA untuk merespon masalah HIV dan AIDS secara efektif. Beberapa programnya berupa pengembangan keterampilan dan advokasi bagi gereja komunitas HIV dan AIDS yang kompeten.
Pada tanggal 15-17 Juni 2021 lalu, CCA mengadakan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Daerah tentang Advokasi HIV dan AIDS di masa Pandemi COVID-19 yang diikuti secara online. Tujuan dari pelatihan ini adalah: Pertama, membekali fasilitator untuk penanggulangan HIV di Asia; Kedua, mengembangkan strategi regional inklusivitas gereja sehubungan dengan isu HIV dan AIDS; Ketiga, memperkuat advokasi HIV dan AIDS gereja; Keempat, memperkuat advokasi tentang pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan serta; Kelima¸ melakukan advokasi aksesibilitas layanan di masa pandemi. Peserta berasal dari berbagai negara, untuk lembaga UPKM/CD Bethesda yang mengikuti pelatihan tersebut adalah Sukendri Siswanto, Sadinah, Ghanis Kristia, Yoshepine Dian Sarimastuti dan Panduarti Prissabat.
Diakhir sesi, ada penyusunan rencana tindaklanjut yang dibagi tiap negara, CD Bethesda bergabung dengan kelompok Indonesia. CD Bethesda kemudian merumuskan bahwa akan membuat kampanye ajakan untuk tidak menstigma dan mendiskriminasi menggunakan tokoh agama sebagai role model. Kemudian untuk aksi bersama akan mengadakan lokakarya nasional memperkuat advokasi Nasional terkait HIV dan AIDS serta mengajak masyarakat untuk mendukung ODHIV di tengah pandemi COVID-19.
Tindaklanjut dari dari pelatihan CCA tersebut, CD Bethesda sudah membuat media kampanye berupa poster, banner dan mini x banner yang berisi ajakan untuk tidak menstigma dan mendiskriminasi ODHIV dengan menggunakan tokoh agama yakni pendeta dan ustadz sebagai role model. Tindak lanjut yang kedua bersama dengan Konferensi Kristen Asia dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia serta jaringan yang ikut dalam CCA merealisasikan agenda lokakarya nasional secara online, yang prosesnya dilakukan dengan serangkaian koordinasi untuk penyusunan konsep, proposal, ToR dan hal teknis lainnya. Lokakarya ini diselenggarakan pada 1-3 September 2021 dengan pembiayaan dari CCA.
Tujuan lokakarya ini adalah membangun perspektif bersama dalam issue HIV; Pertama, memberikan pemahaman baru bagi fasilitator terutama aktivis dan institusi keagamaan untuk dapat merespon isu HIV dari sudut yang lebih manusiawi; memperkuat landasan dan dasar advokasi HIV untuk pelayanan institusi keagamaan terutama gereja di Indonesia; Kedua, memperkuat advokasi dalam upaya pencegahan, pengobatan dan dukungan terhadap sesama yang terinfeksi HIV dan AIDS (SEMATHA); membangun strategi kepedulian yang inklusif, termasuk dalam pelayanan sosoal dan keagamaan dan membangun kepedulian terhadap sesama terutama komunitas termarginalkan dalam masa pandemi.
Tiga puluh peserta dari berbagai gereja, LSM dan komunitas yang concern terhadap HIV mengikuti pelatihan tersebut. Narasumber untuk program ini termasuk perwakilan dari organisasi berbasis agama, organisasi ODHIV dan organisasi masyarakat sipil yang menangani advokasi HIV dan AIDS.
Sekjen PGI Pdt. Jacklevyn F. Manuputty menyambut para peserta dan mengucapkan terima kasih kepada CCA yang telah memprakarsai program ini. Ia mengatakan penguatan upaya advokasi dalam pencegahan, pengobatan, dan dukungan terhadap ODHIV harus menjadi prioritas gereja di Indonesia, menambahkan bahwa gereja harus membangun layanan perawatan inklusif yang mencakup aspek sosial dan spiritual.
Sesi pertama disampaikan oleh Daniel Marguari dari Yayasan Spiritia, Daniel memberikan wawasan tentang situasi HIV dan AIDS di Indonesia dan faktor yang menghambat kemajuan advokasi HIV, seperti kurangnya akses pengobatan, kurangnya dukungan pemerintah, serta stigma dan diskriminasi masyarakat.
Sesi selanjutnya difsilitasi oleh Berlina Sibagariang dari HKBP AIDS Ministry dan Panduarti Prissabat dari CD Bethesda, dengan materi mitos dan fakta HIV dan AIDS, dalam materi ini dapat diketahui bahwa mitos yang beredar di masyarakat berkontribusi terhadap stigma dan diskriminasi, oleh karenanya perlu upaya advokasi dan pendidikan ke masyarakat umum merubah paradigma dan mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV. Dalam diskusi kelompok peserta membahas tentang mitos dan fakta HIV dan AIDS dalam konteks lokal, setelah diskusi kelompok lalu dipresentasikan.
Lokakarya dilanjutkan dengan testimoni dua ODHIV dari Jaringan Indonesia Positif (JIP). Mereka berbagi perjuangan sebagai ODHIV di pandemi COVID-19. Mereka menyoroti kesulitan yang dihadapi dalam mengakses layanan karena pembatasan akses dan kendala lainnya selama COVID-19. Mereka juga menyoroti fakta bahwa ODHIV lebih rentan terhadap COVID-19, sehingga akses ke pencegahan, vaksin, pengobatan dan bantuan terkait kekerasan dan kesehatan mental tidak dapat diabaikan. Peserta menyimpulkan bahwa perlu ada gerakan untuk advokasi pelayanan, dukungan, pengobatan dan perawatan yang tidak diskriminatif terhadap ODHIV.
Pada hari kedua, sesi difokuskan pada bahasan seputar stigma dan diskriminasi disampaikan oleh Aan Rianto dari Jaringan Equals Indonesia, dalam penyampaian materi ini, Aan menekankan tentang penggunaan bahasa yang tepat sangat diperlukan agar tidak bias dan menimbulkan salah presepsi terhadap stigma pada ODHIV, dan sebaiknya menyebarluaskan informasi yang tepat kepada masyarakat, melawan informasi yang salah. Sedangkan sesi kedua Selamet Rahardjo dari GWL-INA memaparkan tentang kerentanan HIV dalam hal orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, dan Karakteristik Jenis Kelamin. Selamet lebih lanjut menyampaikan agar para peserta berkontribusi aktif dalam membangun komunitas yang inklusif dan ramah dan mengadvokasi semua orang di komunitas mereka, terlepas dari status HIV dan orientasi seksual mereka.
Di hari terakhir lokakarya ini, para peserta dibekali oleh Pdt. Stephen Suleeman tentang perspektif teologis tentang HIV dan orientasi seksual dalam kontekstual gereja. Dia menyoroti peran gereja dalam membawa kabar baik kepada semua orang tanpa diskriminasi. Sudah saatnya gereja melepaskan prasangka buruk dan mulai merangkul semua orang, terlepas dari status HIV dan orientasi gender mereka.
Menjelang akhir lokakarya, Baby Rivona Nasution dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) memberikan informasi praktis tentang strategi pencegahan HIV saat ini yang dapat direplikasi oleh gereja dan komunitas. Strategi tersebut termasuk pencegahan ABCDE, pendekatan S.A.V.E., PrEP dan PEP, pengobatan ARV, dan Tidak terdeteksi = Tidak dapat menularkan (U=U).
Lokakarya diakhiri dengan penyusunan rencana aksi dalam rangka advokasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV dan AIDS dan mewujudkan lingkungan yang inklusi di Indonesia.*(Panduarti Prissabat).