Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Desember 4, 2023Geliat Warga Peduli AIDS Surya Sejahtera dan Bener
Desember 5, 2023Merancang Program Berbasis Kebutuhan
Visi dan Misi UPKM/CD Bethesda YAKKUM ini antara lain dikerjakan melalui Program Pencegahan Penularan HIV, meliputi: Pendidikan HIV dan AIDS di masyarakat; Pendidikan kesadaran dan perubahan perilaku ibu rumah tangga agar tidak menjadi kelompok rentan; Pendidikan kesadaran dan perubahan perilaku ibu rumah tangga dan wiraswastawan HIV positif; Workshop Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS secara terpadu serta berbasis masyarakat; Pendidikan kesadaran (coaching, mentoring) pendampingan ODHIV dan keluarganya; VCT mobile; Pemeriksaan serta pengobatan IMS; Kampanye melalui media komunikasi, informasi, dan edukasi (cetak dan medsos) serta peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS); Pembentukan dan pemberdayaan Warga Peduli AIDS (WPA) dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS); Workshop Peran Warga Peduli AIDS dan stakeholder kelurahan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS; dan Advokasi kebijakan berbasis hasil dari kunjungan SALT.
Dampak yang diharapkan dari Project Pencegahan Terpadu Penularan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta yang berjalan saat ini yaitu “Adanya kontribusi untuk terwujudnya program pencegahan terpadu untuk infeksi baru HIV serta pencegahan/pemutusan fase dari HIV menuju AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta.” Pencegahan terpadu dilakukan melalui tiga komponen kegiatan yaitu Pencegahan secara Struktural, Pencegahan secara bio-medical, dan Pencegahan melalui perilaku. Sasaran langsung dari program ini yaitu ODHIV, orang yang hidup dengan ODHIV, dan WPA di 2 Kabupaten/Kota yaitu Belu di NTT dan Kota Yogyakarta di DIY. Sedangkan sasaran lobi dan advokasi yaitu Layanan Kesehatan (RS, Klinik, Puskesmas), Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat, Guru, Pemerintah Desa, dan Praktisi Penyehatan Tradisional.
Project yang telah berjalan mulai Juni 2019 ini, saat ini sudah memasuki tahun ketiga dan akan dilanjutkan untuk periode project berikutnya. Kegiatan yang sudah berjalan antara lain diawali dengan penandatanganan MoU antara UPKM/CD Bethesda YAKKUM dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu mengikuti aturan dan mekanisme yang berlaku di Pemerintahan sehingga program yang ditawarkan bisa diterima Pemerintah, termasuk dalam penganggaran. Apalagi belum banyak lembaga swadaya masyarakat yang bekerja untuk isu HIV di Kabupaten Belu, sehingga Pemerintah Daerah dan masyarakat merasa terbantu dengan keberadaan UPKM/CD Bethesda YAKKUM. Kemudian dilakukan pemilihan anggota WPA yang melibatkan Pemerintah Kelurahan/Desa sehingga dapat menemukan kader yang memiliki komitmen, pengetahuan dan pengalaman di bidang kesehatan maupun dalam isu HIV dan AIDS. Ada juga Orang Dengan HIV (ODHIV) yang terwadahi dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) menjadi entry point dalam menjangkau populasi kunci. Selain itu, anggota KDS yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan fasilitasi yang memadai sangat membantu dalam memfasilitasi peningkatan pengetahuan masyarakat tentang HIV dan AIDS, tes HIV serta pengurangan stigma dan diskriminasi. Pendampingan dan peningkatan kapasitas yang intensif kepada WPA dan ODHIV semakin meningkatkan kepercayaan diri dan pemahaman peran dan fungsi WPA dan ODHIV dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Di saat pandemic Covid-19, program ini mengelola kegiatan dalam situasi emergency selama empat bulan dengan tetap mengkaitkan dengan pelibatan masyarakat dalam konsep community development. Kegiatan respon Covid-19 ini lebih optimal dan efektif karena melibatkan dan bekerjasama dengan jaringan lintas sektor. Pengembangan solidaritas dan kesadaran terhadap kesehatan di antara ODHIV dan WPA dalam situasi emergency untuk mendukung satu sama lain, misalnya menjahit dan mendistribusikan masker.
Menjelang berakhirnya periode project pada Juni 2022, perlu kiranya bagi UPKM/CD Bethesda YAKKUM untuk merefleksikan pencapaian program selama dua tahun lebih ini sekaligus merumuskan rencana-rencana strategis untuk periode project berikutnya. Hal ini perlu untuk mengetahui aspek pendukung keberhasilan, kekurangan yang masih ditemui dalam implementasi kegiatan dan arah serta strategi ke depan untuk memperkuat dampak dan keberlangsungan program di masyarakat.
Workshop rencana strategis project pencegahan terpadu HIV dan AIDS, dilaksanakan pada tgl 5 - 8 Januari 2022, di Hotel Golden Tulip Essential Denpasar, Jl. Gatot Subroto Barat No. 101 Denpasar Bali, diikuti oleh 73 orang.
Tujuan umum dari workshop adalah (1) Mereview dampak dan outcome project pencegahan terpadu penularan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogykarta peride 2019 – 2022 untuk mengukur relevansi dengan konteks saat ini dan 3 tahun mendatang, (2) Mereview isu dan kegiatan dalam project pencegahan terpadu penularan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogykarta peride 2019 – 2022 untuk melihat relevansi, kelanjutan dan perencanaan kegiatan 3 tahun mendatang, (3) Mereview metode pendekatan dalam pemberdayaan komunitas/masyarakat, pola kerjasama dengan stakeholder dan kapasitas staf yang dibutuhkan untuk memperkuat dampak dan keberlanjutan program di masyarakat. Adapun tujuan-tujuan khusus dari workshop adalah (1) mendapatkan gambaran dampak dan outcome dari project yang sedang berjalan, (2) Perumusan dampak dan outcome untuk 3 tahun mendatang, (3) mendapatkan gambaran relevansi isu dan kegiatan yang sedang berjalan dan kemungkinan keberlanjutannya, (4) Perencanaan kegiatan 3 tahun mendatang, (5) Mendapatkan gambaran kelebihan dan kekurangan metode pendekatan pemberdayaan komunitas/masyarakat dan pola kerjasama yang berjalan saat ini, (6) Merumuskan metode pendekatan dan pola kerjasama untuk 3 tahun mendatang.
Pelibatan Pemangku Kepentingan
Peserta workshop adalah stakeholder terkait seperti staf UPKM/CD Bethesda YAKKUM, Dinas Kesehatan, Puskesmas, Kepala Desa/Lurah, Warga Peduli AIDS (WPA), Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), Kelompok Peduli HIV dan AIDS Pita Merah dan Yayasan Kebaya. Fasilitator yang akan memfasilitasi workshop ini yaitu Ignatius Praptoraharjo, Ph.D. dari EMEGE Research Consulting. Sedangkan narasumber dalam study ekskursi adalah dr. Ni Luh Putu Ariastuti dari Yayasan Kerti Praja dan dr. Alfiana serta Gusti Agung Kumala Dewi dari Puskesmas Denpasar Selatan 2.
Metode workshop adalah sharing pengetahuan dan diskusi bersama stakeholder terkait seperti staf UPKM/CD Bethesda YAKKUM, Dinas Kesehatan, Puskesmas, Kepala Desa/lurah, WPA, KDS, dan Kelompok Peduli HIV dan AIDS Pita Merah. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan workshop dengan staf UPKM/CD Bethesda YAKKUM (Direktur, Wakil Direktur, Manajemen Project, Area Manajer, Staf Community Organising, Staf Infokom dan Staf Kasir).
Workshop dilakukan dalam beberapa sesi diskusi untuk membahas penilaian terhadap kegiatan yang sudah dilakukan selama 2,5 tahun (permasalahan yang terjadi), perubahan apa yang diinginkan dalam 3 tahun mendatang dan kegiatan apa yang diusulkan. Peserta dibagi menjadi 3 kelompok yaitu (1) Kelompok WPA, Pemerintah Desa/Kelurahan, KPA ada 3 kelompok, (2) Layanan Kesehatan termasuk Dinkes ada 2 kelompok, (3) KDS dan kelompok Pita Merah ada 2 kelompok
Ragam Ide Program Lanjutan
Hasil dari perumusan masalah dan kegiatan, ada 4 komponen yaitu (1) Intervensi structural), (2) Pengetahuan dan perilaku, (3) Pengobatan dan perawatan, (4) Mitigasi dampak. Permasalahan di Komponen Struktural antara lain : belum semua WPA memiliki SK, sehingga implementasi kegiatan hanya berdasarkan kesepakatan, masih kurangnya sarana prasarana pendidikan HIV dan AIDS, pendanaan kelurahan di Jogja ada tetapi terbatas, pendanaan dari desa/kelurahan di Belu pernah dianggarkan tetapi belum ada realisasi, pelibatan WPA oleh Puskesmas dalam setiap kegiatan belum terjadi, layanan VCT di Belu masih ada yang menggunakan hanya 1 reagen, hasil reaktif dirujuk ke RSUD Atambua, komitmen dana dari pemerintah untuk pendampingan ODHIV oleh WPA/KDS belum optimal karena terjadi refocusing, WPA terintegrasi dalam Kelurahan Siaga. Sedangkan kegiatan untuk komponen struktural adalah pertemuan koordinasi antara faskes dan stakeholder (KDS, LSM, WPA, Tokoh masyarakat), membangun kerjasama dengan tokoh agama dan komunitas dalam edukasi HIV AIDS, membangun kerjasama antara pemerintah kelurahan / desa dan Puskesmas dalam kegiatan pendidikan, advokasi untuk menurunkan stigma dan diskriminasi, audiensi adanya peraturan daerah untuk mendukung penanggulangan HIV dan AIDS, advokasi untuk memudahkan komunitas transpuan dan ODHIV mendapatkan identitas kependudukan, advokasi Anggaran Penanggulangan HIV untuk WPA dan KDS, WPA dilibatkan dalam penyusunan anggaran (Musrenbangdes/kel), pembentukan WPA oleh OPD dan Pemerintah Desa/Kelurahan, Dinas Kesehatan dan KPA membuat peraturan bagi desa dan kelurahan untuk mengalokasikan dana (terutama desa dan kelurahan yang terdapat kasus HIV AIDS meningkat setiap tahunnya), pertemuan Koordinasi antara WPA, KDS dengan DPRD dan Pemerintah Daerah, advokasi kebijakan HIV dan AIDS untuk menjamin hak ekonomi bagi ODHIV dan kelompok rentan dan advokasi ke Pimpinan Daerah untuk mempercepat proses berjalannya layanan PDP di Puskesmas.
Permasalahan di komponen pengetahuan dan perilaku antara lain pertama, belum ada pedoman baku untuk melakukan langkah-langkah sosialisasi, sehingga masing-masing kelurahan dan desa bisa berbeda-beda metode sosialisasi dan edukasinya, media KIE masih kurang mencukupi (Jogja), LCD belum ada di beberapa desa sehingga selama ini hanya menggunakan media KIE, leaflet tidak efektif karena minat baca kurang sehingga perlu alternatif metode seperti memutar film (layar tancap), psikodrama, belum semua WPA mampu menggunakan media atau sarana KIE dan metode penyampaikan materi sosialisasi, belum ada perlengkapan memadahi sebagai penunjang edukasi dan kegiatan (buku saku,leaflet dll) dan KDS Belu mau memberi informasi ataupun edukasi namun anggota masih takut. Permasalahan yang ada tersebut diatas maka perlu ada kegiatan capacity Building WPA dan KDS, aspek pemahaman tentang materi edukasi HIV dan AIDS serta kemampuan advokasi kebijakan.
Kedua, sosialisasi sesuai dengan jadwal, tetapi ada kelurahan/desa bisa mundur kegiatannya karena ada beberapa kendala, komunitas antusias, perangkat dusun RT RW mendukung. Apabila ada masyarakat yang belum terjangkau informasi, mereka minta diberikan informasi. Tetapi ketika ditanya mau tes HIV/VCT, mereka masih berpikir ulang. Lain cerita kalau langsung ada layanan VCT mobile, mungkin saja mau tes (kasus di Yogyakarta), ada jeda antara sosialisasi HIV dan AIDS dengan tindak lanjut tes HIV sehingga membuat peserta yang pernah mendapatkan informasi tidak serta merta mau ikut tes HIV, antara lain karena tempat tes HIV (di Puskesmas) yang berbeda dengan lokasi edukasi, tiap keluarga tidak mau diketahui orang lain bahwa anggotanya ada yang positif HIV, masalah stigma dan diskriminasi : Masyarakat belum bisa menerima odhiv (diusir), partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pendampingan belum ada sehingga diskriminasi masih muncul. Sedangkan rumusan kegiatanya adalah edukasi tentang HIV/AIDS serta pentingnya mengetahui secara dini status HIV untuk masyarakat umum, VCT Mobile bersamaan setelah ada edukasi HIV dan AIDS, edukasi HIV untuk pengurangan diskriminasi, kampanye HIV pada saat HAS 2022, kampanye melalui Media Sosial, Elektronik, Cetak dan Radio, edukasi HIV dan AIDS secara personal dari rumah ke rumah dan dukasi HIV dan AIDS, penghapusan stigma dan diskriminasi melalui gereja dan masjid.
Ketiga, masih ada ODHIV yang belum terbuka di Belu, masyarakat belum bisa menerima ODHIV yang status transpuan, tenaga kesehatan, ODHIV dan transgender rentan mendapatkan perlakuan kekerasan berbasis gender, termasuk transpuan dengan HIV. Sedangkan rumusan kegiatannya adalah edukasi terkait Kesehatan, penerimaan diri (bagi ODHIV) dan keluarga, pelatihan dukungan psikososial bagi ODHIV dan edukasi (PrEP, PPIA & AFASS, SOGIESC, GBV/IPV).
Keempat, sosialisasi yang diinisiasi WPA melibatkan Puskesmas berjalan, sebaliknya kegiatan Puskesmas jarang melibatkan WPA, dukungan pemerintah desa/ kelurahan terhadap kegiatan WPA tinggi, tetapi kehadiran fisik belum optimal, puskesmas tidak menyediakan dana untuk WPA sehingga WPA tidak dilibatkan dalam sosialisasi di desa yang diselenggarakan oleh Puskesmas, belum dapat data by name dari layanan kesehatan, baru kalau ODHIV bermasalah dirujuk ke KDS untuk didampingi, komunitas kesulitan mengakses nama ODHIV dari Puskesmas sehingga tidak bisa terlibat mendampingi ODHIV yang ada di wilayah kegiatannya. Sedangkan kegiatannya adalah FGD dan kesepakatan kerjasama (MoU) antara Desa/Kelurahan dan Puskesmas untuk pelibatan dan penganggaran WPA untuk penanganan HIV dan AIDS, berdasarkan kebijakan/regulasi nasional terkait keberadaan WPA dan pertemuan koordinasi KDS dan Puskesmas untuk strategi pendampingan ODHIV.
Permasalahan di komponen pengobatan dan perawatan antara lain : belum semua ODHIV memiliki BPJS, di Belu obat ARV hanya dilayani di RSUD Atambua, Layanan PDP di Kabupaten Belu hanya di RSUD Atambua, belum semua ODHIV open status kepada keluarga / pasangan, di Belu jarak rumah WPA ke ODHIV cukup jauh sehingga agak kesulitan dalam pendampingan, SDM Puskesmas sering berganti, JKN belum bisa mengcover semua biaya perawatan kesehatan transpuan dan ODHIV, kerjasama antara WPA, KDS dan layanan kesehatan dalam pendampingan ODHIV belum terjalin dan SIHA tidak akomodatif terhadap data LFU. Sedangkan kegiatannya adalah advokasi untuk akses layanan kesehatan serta jaminan Kesehatan, advokasi ketersediaan 3 reagen untuk tes HIV, advokasi penambahan layanan PDP (puskesmas dan rumah sakit di Belu yang sudah dilatih), pelatihan dan magang tenaga (dokter, perawat, analis, apoteker, RR) puskesmas dan rumah sakit yang akan PDP, pendidikan kepatuhan ARV, pelatihan Pengawas Minum Obat bagi Keluarga, KDS dan WPA, pelatihan Penerimaan Diri bagi ODHIV, supervisi dan Monitoring Layanan PDP, pelatihan puskesmas ramah ODHIV, penjangkauan ODHIV LFU, pendampingan ODHIV terkait kepatuhan dan penerimaan diri, koordinasi keberlanjutan stok ARV dan penyediaan sarana dan prasarana pemeriksaan VCT, CD4 dan Viral Load, skrining TB bagi pasien ODHIV dengan metode rontgen dan magang di Faskes tentang konseling motivasi dan kepatuhan pengobatan ARV.
Permasalahan di komponen mitigasi dampak antara lain pertama, keanggotaan, manajemen waktu pertemuan dan konsolidasi internal KDS, Kelompok Peduli Pita Merah memasukkan anggota tanpa diassesment dulu hanya setor nama tanpa tau aktif atau tidak sehingga mengakibatkan perselisihan dengan KDS lain, belum ada pedoman tentang keanggotaan KDS, anggota banyak pekerjaan penganturan waktu antara anggota masih sulit untuk mengadakan kegiatan, sulit untuk menetukan waktu, kendala geografis untuk kabupaten belu, sudah ada struktur organisasi, tetapi tidak semua odhiv bersedia utk bergabung, KDS Belu & Jogja sekretariat masih menebeng di kantor CD Bethesda, untuk KDS Belu masih dibantu dana untuk penjangkauan di wilayah yg jauh dan koordinator Pita Merah masih membackup semuanya baik pencatatan, bendahara, surat tugas, sarana prasarana masih kurang. Adapun kegiatannya adalah capacity building (sistem keanggotaan, manajemen organisasi, manajemen konflik, membangun jejaring dan kerjasama, strategi penggalangan dana) bagi ODHIV.
Kedua, kapasitas untuk melakukan advokasi hak-hak ODHIV dalam akses jaminan kesehatan, bantuan ekonomi, pendidikan, KTP, pekerjaan dan keterbatasan fasilitas untuk akses ke layanan. Kegiatannya adalah pelatihan pengorganisasian KDS dan kelompok peduli AIDS, pelatihan advokasi kebijakan, advokasi kebijakan ke DPRD dan OPD (terkait akses jaminan kesehatan, bantuan ekonomi, pendidikan, KTP, pekerjaan) dan edukasi dan advokasi untuk peningkatan kapasitas tentang HIV AIDS dan kelompok marginal.
Ketiga, KDS dan kelompok Pita Merah tidak bisa berjalan mandiri masih dibantu CD Bethesda, geografis untuk penjangkauan wilayah sangat susah, pengurus tidak memiliki kendaraan untuk menjangkau wilayah yg jauh, pihak keluarga belum mengetahui status ODHIV, KDS masih tergantung dari pendanaan CD Bethesda untuk penjangkauan dan pendampingan dan belum mencapai ke pendanaan karena KDS Belu masih baru. Kegiatannya adalah pelatihan Ketrampilan (jamu, pijat, pengolahan pangan lokal, kebun organik, pengembangan usaha ekonomi kelompok) ODHIV dan Kelompok rentan.
Salah satu agenda workshop Rencana Strategis Project HIV dan AIDS ada Study Ekskursi yang dilaksanakan pada tanggal 7 Januari 2022 di Puskesmas Denpasar Selatan 2 dan Yayasan Kerti Praja. Tujuan kegiatan ini adalah sharing pengalaman upaya pencegahan dan penanggulangan HIV yang dilaksanakan oleh Puskesmas Denpasar Selatan 2 dan Yayasan Kerti Praja. Peserta dibagi menjadi dua kelompok untuk melakukan kunjungan ke dua tempat tersebut. Hasil yang didapatkan adalah peserta memahami tentang gambaran umum Puskesmas Denpasar Selatan 2 dan Yayasan Kerti Praja serta program HIV yang dilaksanakan terkait dengan layanan kesehatan, pemberdayaan dan pendampingan ODHIV.
Semangat Baru untuk Peningkatan Kualitas Program
Harapan yang disampaikan oleh peserta adalah hasil workshop dapat menjadi acuan dalam program kerjasama antara UPKM/CD Bethesda YAKKUM dan stakeholder terkait serta program di masing-masing instansi, lembaga dan komunitas. Kesan yang sangat menarik dari workshop ini adalah bahwa dengan berjumpanya semua penerima manfaat langsung dan tidak langsung dalam Program Pencegahan Terpadu Penularan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta dapat merekatkan relasi sehingga setiap peserta bisa saling belajar dari pengalaman masing-masing. Suasana yang akrab membuat diskusi yang dilakukan menjadi hidup dan bisa menghasilkan rekomendasi untuk program ke depan. Ketimpangan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta dalam kaitannya dengan kondisi geografis, kebijakan dan SDM menjadi pemicu semangat bagi stakeholder untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi ODHIV. *(Sadinah)