Riset Sistem Pelayanan Posyandu
November 22, 2023Pelatihan Pijat Trasidional di Sumba Timur
Desember 4, 2023Memastikan Keberlanjutan Program Pengendalian HIV dan AIDS
Menjelang berakhirnya proyek Pencegahan Terpadu Penularan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta, penting untuk melakukan penilaian terhadap pencapaian indikator program. Penilaian dilakukan melalui evaluasi internal yang dilaksanakan di masing-masing area dalam rentang Oktober – November 2021. Tujuan dari evaluasi internal ini adalah: (1) Menilai capaian indikator proyek; (2) Mengukur dan menilai secara komprehensif program yang diimplementasi, dan (3) Memberikan rekomendasi dan lesson learned untuk pengembangan program, replikasi dan scaling up bagi lembaga.
Proses evaluasi dilaksanakan secara partisipatif yang melibatkan masyarakat atau kelompok masyarakat yang secara langsung mendapatkan manfaat program dan para pemangku kepentingan sebagai mitra strategis dalam pelaksanaan program. Proses partisipatif ini menggunakan beberapa perangkat alat atau tehnik untuk pengumpulan data primer berupa Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam dan observasi serta pengumpulan data sekunder melalui studi dokumen dan data monitoring.
Kegiatan FGD dilakukan di tingkat Kecamatan, Kelurahan/Desa, WPA, KDS dan pelaksana proyek di wilayah serta manajemen program di kantor pusat. Sementara wawancara mendalam dilakukan terhadap tokoh kunci, penerima manfaat langsung dan tidak langsung, Dinas Kesehatan di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta.
Hasil evaluasi internal digunakan sebagai masukan bagi lembaga untuk meningkatkan kualitas program dan sebagai bagian dari bentuk akuntabilitas lembaga kepada internal YAKKUM maupun pihak eksternal yang punya kepedulian sama dengan UPKM/CD Bethesda YAKKUM.
Penilaian Keberhasilan dengan Indikator
Evaluasi internal menggunakan standar Development Assistance Committee (DAC) yang menilai dari aspek relevansi, efektivitas, efisiensi, dampak dan keberlanjutan program. Penilaian relevansi untuk mengukur sejauh mana tujuan intervensi program (pembangunan/ pemberdayaan) konsisten dengan kondisi dan kebutuhan penerima manfaat, kebutuhan negara, prioritas global, serta kebijakan mitra dan donor.
Penilaian efektivitas untuk mengukur sejauhmana tujuan intervensi program (pembangunan/pemberdayaan) tercapai, atau diharapkan akan tercapai, dengan mempertimbangkan kepentingan relatifnya. Sebagai catatan, kriteria ini juga digunakan untuk menilai manfaat suatu kegiatan, yaitu sejauh mana suatu intervensi telah mencapai, atau diharapkan untuk mencapai tujuan utama yang relevan secara efisien dengan cara yang berkelanjutan dan berdampak positif pada pengembangan kelembagaan.
Penilaian efisiensi untuk mengukur sejauh mana sumberdaya yang digunakan selama program berjalan secara ekonomis dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan program. Sumberdaya di sini adalah keahlian manusianya, dana, waktu pelaksanaan, alam, dll.
Penilaian dampak dimaksudkan untuk mengukur perubahan jangka panjang berupa adanya peningkatan atau perbaikan kondisi kesehatan, ekonomi, tingkat kelayakan hidup, kebijakan atau sistem sebagai efek dari intervensi program maupun intervensi pembangunan secara umum.
Penilaian keberlanjutan atau sustainabilitas, diartikan sebagai kelanjutan kemanfaatan program setelah intervensi program atau pendampingan sudah berakhir, adanya kemungkinan program dan perubahan positif dilanjutkan oleh komunitas tersebut dan ketahanan mereka menghadapi risiko lanjutan tetap berjalan meski dilakukan secara mandiri.
Relevansi Program dengan Kebutuhan
Implementasi proyek ini dinilai relevan dengan kebutuhan pemberdayaan penerima manfaat dan konsisten dengan kebutuhan penerima manfaat dan kebijakan mitra di kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta. Komunitas peduli HIV dan AIDS di Kelurahan/Desa yang sebelumnya tidak ada atau mati suri, berhasil terbentuk atau menunjukkan eksistensinya melalui wadah WPA. WPA selanjutnya mampu menata manajemen kelompoknya dan merencanakan serta melaksanakan program terkait dengan pencegahan transmisi HIV. Demikian juga pihak Pemerintah Desa dan kelurahan, yang sebelumnya tidak pernah merencanakan dan menganggarkan untuk isu HIV dan AIDS, setelah bermitra dengan proyek ini 16 pemerintah Desa/kelurahan telah merencanakan dan menganggarkan untuk isu HIV dan AIDS serta melibatkan WPA dalam Musrenbangdes atau Musrenbangkel, yang di dalamnya dimasukkan perencanaan program Kelurahan/Desa yang terkait HIV dan AIDS.
Proyek ini juga dinilai relevan, yang sebelumnya KDS hanya bermitra dengan Puskesmas, setelah adanya proyek ini, KDS juga bemitra langsung dengan WPA untuk melakukan kerja nyata di masyarakat dalam bentuk sosialisasi dan kunjungan SALT, dan bahkan telah terbentuk KDS baru untuk Kabupaten Belu, yang sebelumnya tidak ada. Relevansi program juga dirasakan anggota Yayasan Kebaya yang telah berhasil mendapatkan akses vaksin covid-19 dan identitas kependudukan melalui serangkaian advokasi kebijakan bagi kelompok rentan.
Efektifivitas Program
Program ini dinilai efektif untuk mendampingi ODHIV yang sebelumnya putus minum ARV bisa kembali rutin mengkonsumsi Anti Retroviral. Efektivitas ini terutama bisa dirasakan bagi anggota KDS yang sempat terhambat dalam konsumsi ARV karena ketersediaan obat berkurang, tempat layanan sibuk merespon pandemi dan situasi layanan masih menakutkan bagi masyarakat umum, serta ODHIV sendiri merasa takut untuk datang ke layanan untuk mengakses ARV. Kegiatan pendampingan ODHIV yang dilakukan oleh WPA dan KDS dirasakan cukup membantu menyadarkan ODHIV yang LFU untuk kembali mengkonsumsi ARV secara rutin. Dukungan dari keluarga yang meningkat juga membantu ODHIV untuk memperoleh kepercayaan diri mengkonsumsi ARV. Program ini juga efektif dalam upaya perubahan perilaku, meningkatkan kepercayaan diri ODHIV dan mengurangi diskriminasi dan stigma di masyarakat.
Efisiensi Program
Kemitraan antara Puskesmas, KDS, WPA dan Pemerintah Desa/Kelurahan serta pelibatan stakeholders lainnya yang tergabung dalam Forum Pencegahan dan Penanggulangan HIV Berbasis Masyarakat (FORBAS) di Kota Yogyakarta dinilai efisien untuk mendukung pelaksanaan program yang membutuhkan keterlibatan dan dukungan banyak pihak. Keberadaan WPA dan KDS sebagai mitra strategis Puskesmas dan Pemerintah Kelurahan/Desa, dinilai efisien untuk menjadi motor penggerak implementasi program di tingkat masyarakat. Jiwa voluntarysme atau kerelawanan dari kader WPA dan KDS sangat membantu untuk menjangkau masyarakat maupun ODHIV yang ada di wilayah tempat tinggal mereka.
Proyek ini juga dinilai efisien dari aspek waktu, yakni adanya capaian sesuai antara perencanaan dan implementasi di lapangan, serta adanya korelasi antara obyektif dan indikator dengan capaian melalui aktivitas yang dijalankan sesuai antara perencanaan dan implementasi, baik dari aspek anggaran, waktu dan sumberdaya yang digunakan.
Dampak Program
Dampak program bisa dilihat dari peningkatan alokasi anggaran untuk program HIV dan AIDS di tingkat kabupaten, Puskesmas, dan desa/kelurahan, terutama di Kabupaten Belu. Pada tahun pertama sudah terjadi peningkatan sebesar 43,05% dari baseline dan pada tahun kedua mengalami peningkatan sebesar 93,98% dari baseline, melebihi target indikator yang ditetapkan sebesar 10%. Rencana penggunaannya pun beragam, dari upaya pencegahan melalui kegiatan promotife dan edukatif, penyediaan layanan VCT, ARV, Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), dukungan sosial untuk pembentukan KDS dan pendampingan ODHIV oleh Tim AIDS Puskesmas.
Kontribusi program untuk peningkatan anggaran dirasakan sampai level desa, yaitu inisiatif dari 2 desa di kabupaten Belu yang mengalokasikan anggaran dari dana desa untuk program HIV dan AIDS. Namun demikian, implementasi dana desa untuk program HIV dan AIDS terkendala pada kebijakan bahwa semua dana desa difokuskan pada penanganan dan pemulihan ekonomi masyarakat desa di masa krisis karena pandemi Covid-19.
Program juga berkontribusi terhadap pengalokasian anggaran untuk program HIV dan AIDS di 8 Kelurahan di Kota Yogyakarta. Upaya pencegahan HIV dan AIDS dapat dilakukan oleh pemerintah kelurahan dengan dukungan anggaran yang tersedia pada nomenklatur Kelurahan Siaga (KESI), demikian juga untuk aktivitas promotif dan preventif yang dilakukan WPA menggunakan dana taktis yang peruntukannya bagi koordinasi dan rapat warga di level RT dan RW yang penggunaanya feksibel bisa untuk sosialisasi HIV dan AIDS.
Komitmen Keberlanjutan Program
Program yang dijalankan dinilai dapat berkelanjutan karena peran WPA yang berasal dari perwakilan masyarakat setempat mampu melanjutkan program-program pencegahan HIV dan AIDS di desa/kelurahan. Keberadaan WPA tidak hanya di tingkat kelurahan/desa tapi sudah terbentuk di level RT dan RW. Hal ini bisa memperluas jangkauan penyebaran informasi terkait HIV dan AIDS sampai ditingkat keluarga, Posyandu dan Dasawisma.
Anggota WPA dan KDS merasakan efek positif dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan penanganan HIV dan AIDS, meskipun masih tersentral pada kontribusi CD Bethesda. Munculnya KDS yang terbilang masih embrio menjadi ‘oase’ bagi ODHIV pemula untuk mendapatkan semangat hidup kembali melalui spirit saling mendukung satu sama lain. Hanya saja konsistensi pertemuan dan konsolidasi kepengurusan perlu dimonitor dan dijaga agar aktivitas KDS dan WPA membawa pengaruh baik bagi ODHIV dan menjadi medium kampanye pengurangan diskriminasi dan stigma.
Program ini juga membuka jalan bagi KDS untuk melakukan advokasi ke level lebih tinggi serta advokasi yang terstruktur. Sebagai contoh, advokasi akses ARV di masa pandemi yang sebelumnya mengalami kesulitan akibat kelangkaan ARV, akhirnya bisa terpenuhi. Demikian juga advokasi untuk mendapatkan Kartu Identitas Diri (KTP) bagi KDS transpuan telah berhasil melalui Biro Tata Pemerintahan DIY dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota.
Keberlanjutan penanganan LFU, melalui pertemuan validasi data yang diinisiasi dalam program ini dapat terus dilanjutkan untuk meminimalisir penambahan kasus putus minum ARV.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan kunci, data, dan pembelajaran dari semua stakeholder yang terlibat dalam Program Pencegahan Terpadu Penularan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta yang tercatat selama proses dan evaluasi internal ini, maka muncul rekomendasi utama sebagai berikut:
Pertama, perlu advokasi strategis yang melibatkan stakeholder kunci untuk meningkatkan anggaran yang disediakan oleh pemerintah daerah melalui skema penganggaran APBD di kabupaten, BOK di Puskesmas, dan Dana Desa dan kelurahan, serta mempertahankan konsistensinya. Integrating budget dan skema penganggaran menjadi kata kunci, yaitu memanfaatkan program pemerintah lainnya dan mendesakkan agar ODHIV juga dimasukkan sebagai prioritas penerima manfaat, termasuk ODHIV dengan disabilitas. Kepesertaan ODHIV dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga sebaiknya menjadi fokus isu yang diadvokasikan ke stakeholder, termasuk memperjelas kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan agar mengakomodasi hak ODHIV mengakses JKN mengingat sebagian besar ODHIV mengalami masalah perekonomian.
Upaya peningkatan anggaran untuk program HIV dan AIDS oleh Pemerintah Kota Yogyakarta perlu dilakukan melalui jalur legislatif, baik melalui jaringan aspirasi atau pokok pikiran (Pokir) DPRD, public hearing (dengar pendapat) atau audiensi serta lobi informal dengan pembuat perencanaan dan penganggaran yakni DPRD Kota Yogyakarta khususnya di Komisi D yang membidangi kesehatan. Upaya advokasi anggaran ke legislatif ini harus menyertakan semua komponen yang selama ini bekerja dalam isu HIV dan AIDS, yakni LSM dan Komunitas Peduli HIV serta KDS dengan hipotesis bahwa komponen ini memahami persoalan dan kebutuhan apa yang diperlukan untuk perencanaan dan penganggaran HIV dan AIDS, sehingga memiliki daya ungkit untuk direspon aspirasinya.
Kedua, mengupayakan agar Rumah Sakit dan Puskesmas mampu menjalankan peran edukasi dan promosi pada populasi kunci, ODHIV dan OHIDHA baik di dalam maupun di luar layanan. Rumah Sakit di Kabupaten Belu seringkali menghadapi kendala dalam melakukan edukasi di luar Rumah Sakit, sebaliknya Puskesmas memiliki keterbatasan struktur dan sarana pendukung.
Ketiga, perlu intervensi langsung oleh pemberi layanan terhadap ODHIV yang LFU untuk memastikan bahwa ODHIV telah terkonfirmasi meminum ARV kembali secara disiplin. Mendorong KDS melakukan penjangkauan dan pendampingan secara intensif terhadap ODHIV yang Lost to Follow Up ARV, yang tidak dijangkau oleh pendukung sebaya Puskesmas. Menjangkauan dan pendampingan ini menggunakan metode SALT sekaligus menjadi konselor dari pelatihan penerimaan diri yang sudah didapatkan dari proyek ini.
Keempat, penguatan WPA dan KDS terutama dalam hal advokasi hak akses kesehatan mengingat ada persoalan besar mengenai pembiayaan pengobatan rutin di luar ARV. Selain itu, WPA dan KDS juga perlu ditingkatkan kapasitas dalam hal mendampingi ODHIV secara psikososial umum. Isu pengurangan praktek kekerasan berbasis gender yang seringkali dialami oleh ODHIV dan ketidakadilan juga menjadi percakapan/dialog di antara aktivis WPA dan KDS, sehingga melalui mereka kampanye pengurangan praktek kekerasan dalam bentuk diskriminasi dan stigma dapat dilakukan. Memaksimalkan peran WPA sebagai ujung tombak upaya Pencegahan Terpadu Penularan HIV dan AIDS di level basis masyarakat. Mendorong kelompok peduli Pita Merah sebagai kader sebaya agar memiliki daya-ungkit untuk melakukan upaya promotif, kuratif, preventif untuk masyarakat dan pendampingan serta penjangkaun untuk ODHIV.
Kelima, memaksimalkan media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) melalui media sosial karena di era pandemi Covid-19 kegiatan yang bersifat interaktif dan melibatkan orang banyak terbatasi oleh protokol kesehatan. Media kampanye diintensifkan dan dibuat beragam dengan tema-tema yang mudah dipahami oleh masyarakat, terutama tema penghapusan kekerasan terhadap ODHIV, penerimaan sosial, dan perlindungan hak kesehatan ODHIV.*(Hd).