Tantangan Menuju Three Zero di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta
November 14, 2023Pelatihan Kader Posyandu Desa Uabau
November 22, 2023Tetap Berjuang di Masa Pandemi COVID-19
Program Pencegahan terpadu Penularan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur dan Kota Yogyakarta, DIY telah berjalan sejak Juli 2019 dan akan berakhir pada Juni 2022. Melalui program ini diharapkan bisa berkontribusi terhadap terwujudnya program pencegahan terpadu untuk infeksi baru HIV serta pencegahan dan pemutusan fase dari HIV menuju AIDS di kedua wilayah tersebut. Sasaran langsung dari program ini yaitu Orang dengan HIV dan AIDS (ODHIV), orang yang hidup dengan ODHIV (OHIDHA), dan Warga Peduli AIDS (WPA).
WPA merupakan orang-orang yang memiliki komitmen untuk berperan serta secara aktif dan melakukan berbagai kegiatan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungannya. WPA dibentuk di setiap desa/kelurahan mitra program. Ada 8 WPA yang dibentuk di masing-masing Kabupaten/Kota, sehingga total ada 16 WPA. Setiap WPA terdiri dari antara 5-8 anggota baik laki-laki, perempuan maupun transgender. WPA yang dibentuk di Kabupaten Belu ada di Kelurahan Umanen dan Tulamalae (Kecamatan Atambua Barat), Desa Tukuneno dan Bakustulama (Kecamatan Tarsifeto Barat), Desa Fatuketi dan Leosama (Kecamatan Kakuluk Mesak), serta Desa Silawan dan Manleten (Kecamatan Tarsifeto Timur). Sedangkan WPA yang dibentuk di Kota Yogyakarta yaitu di Kelurahan Suryodiningratan dan Gedongkiwo (Kecamatan Matrijeron), Kelurahan Giwangan dan Warungboto (Kecamatan Umbulharjo), Kelurahan Pringgokusuman dan Sosromenduran (Kecamatan Gedongtengen), Kelurahan Kricak dan Bener (Kecamatan Tegalrejo).
Program ini juga menyasar layanan kesehatan (Rumah Sakit, Klinik, Puskesmas), tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat, guru, pemerintah desa dan praktisi penyehatan tradisional. Selain itu, Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD), Dinas Kesehatan, anggota polisi dan TNI, Dinas Pendidikan dan lembaga pendidikan swasta, Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) serta organisasi masyarakat sipil/LSM menjadi pemangku kepentingan strategis dalam program ini.
Meski dalam situasi pandemi, UPKM/CD Bethesda YAKKUM bersama seluruh mitra strategis yang terlibat dalam program ini terus mengupayakan pencapaian tujuan dan indikator program. Harapan besar program ini meski hanya dilakukan di dua kabupaten/kota namun bisa berkontribusi terhadap upaya pencapaian Three Zero dan target Fast-track 90-90-90.
Strategi Pencegahan Terpadu
Program pencegahan terpadu penularan HIV dan AIDS yang diimplementasikan oleh UPKM/CD Bethesda YAKKUM dengan dukungan dana dari Brot fur die Welt (BfdW) Jerman menggunakan 3 strategi pencegahan, yaitu Pencegahan secara struktural, Pencegahan secara biomedical dan Pencegahan melalui perilaku. Pencegahan Secara Struktural yaitu serangkaian intervensi yang menggunakan faktor struktural untuk mengurangi kerentanan orang terhadap infeksi HIV, antara lain menyangkut faktor sosial (stigma, ketidaksetaraan gender), hukum politik (hukum dan peraturan perundang-undangan), dan faktor ekonomi (kurang peluang mata pencaharian). Tujuan strategi Pencegahan secara struktural yaitu agar Pemerintah Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta menaikkan alokasi anggaran untuk membiayai program pencegahan HIV dan Tes HIV secara sukarela.
Strategi Pencegahan Secara Biomedical dimaksudkan sebagai serangkaian upaya menggunakan peralatan medis seperti ARV untuk pengobatan dan pencegahan penularan, metode penghalang seperti kondom pria dan wanita, penerapan sunat laki-laki atau metode lain untuk mengurangi kemungkinan transmisi HIV. Tujuan pencegahan secara biomedical yaitu melalui layanan kesehatan yang berkelanjutan dan holistik ODHIV, jumlah kasus putus terapi ARV jauh berkurang.
Sedangkan strategi Pencegahan melalui Perilaku merupakan upaya pencegahan infeksi HIV yang berfokus baik pada individu, pasangan, keluarga, kelompok sebaya atau jaringan, lembaga maupun komunitas untuk menunda hubungan seks pertama, mengurangi jumlah pasangan seksual, meningkatkan perilaku seksual yang aman, melakukan konseling dan tes HIV, kepatuhan terhadap strategi biomedis, pencegahan penularan HIV, tidak berbagi jarum suntik, dan tidak menggunakan narkoba. Tujuan pencegahan melalui perilaku yaitu memperkuat kepercayaan diri dan kapasitas ODHIV di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta untuk saling mendukung satu sama lain dan berkontribusi aktif untuk mencegah infeksi baru HIV.
Pencapaian Bermakna
Masing-masing strategi pencegahan memiliki indikator atau target pencapaian program. Indikator strategi pencegahan secara struktural yang ditetapkan yaitu : Pertama, Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta menaikan alokasi anggaran (masing-masing 10%) untuk program pencegahan HIV dan AIDS dan tes HIV sukarela; Kedua, 50% dari kegiatan pencegahan HIV dan AIDS menjangkau populasi kunci yang baru diidentifikasi.
Pencapaian bermakna dari indikator pertama untuk masing-masing Pemerintah Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta menaikkan alokasi anggaran program HIV dan AIDS sebesar 10%, sampai tahun 2021 ada peningkatan sebesar 93,98% dari baseline tahun 2019 untuk Kabupaten Belu, sedangkan di Kota Yogyakarta justru turun sebesar 13,41% dari baseline tahun 2019. Total anggaran untuk program HIV dan AIDS di Kabupaten Belu Tahun 2019 yaitu sebesar Rp 237.090.000 dan di akhir 2021 naik menjadi Rp 459.914.000. sementara anggaran di Kota Yogyakarta yang awalnya sudah cukup tinggi di tahun 2019 yaitu sebesar Rp 177.329.536 justru mengalami penurunan di akhir tahun 2021 menjadi Rp 153.551.130.
Pencapaian target kenaikan alokasi anggaran untuk program pencegahan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu memang terjadi secara konsisten, yaitu ada peningkatan 43,05% di tahun pertama dan kemudian meningkat kembali sebesar 93,98% di tahun kedua dibandingkan dengan baseline. Berbeda dengan alokasi anggaran di Kota Yogyakarta yang pada tahun pertama mengalami peningkatan sebesar 243%, namun di tahun kedua justru turun cukup drastis sehingga lebih rendah dari baseline tahun 2019. Penurunan anggaran terjadi karena prioritas anggaran Pemerintah Kota Yogyakarta yang banyak dialokasikan untuk mendukung upaya pemerintah secara nasional dalam penanggulangan covid-19. Alokasi anggaran di tahun 2020 untuk penanggulangan HIV dan AIDS yang porsinya besar untuk kegiatan penjangkauan, Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP) serta rapat koordinasi, tidak dimasukkan lagi dalam anggaran tahun 2021 dan dialihkan untuk vaksinasi covid-19.
Di sisi lain, anggaran untuk kegiatan HIV dan AIDS di tingkat Kelurahan Kota Yogyakarta tetap dialokasikan meski dalam situasi pandemi dan terjadi peningkatan alokasi dari Rp 16.440.000 di tahun 2019 meningkat menjadi Rp 43.780.450 di tahun 2021. Konsistensi alokasi anggaran untuk isu HIV dan AIDS ini didukung upaya aktif dari WPA masing-masing Kelurahan yang melakukan advokasi anggaran dan terlibat aktif dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Kelurahan (Musrenbangkel) untuk mengusulkan anggaran.
Grafik Data Jumlah Anggaran Penanggulangan HIV dan AIDS
Pencapaian indikator kedua untuk menjangkau populasi kunci yang baru teridentifikasi, prosentase di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta sebesar 86%. Besaran prosentase ini melebihi target yang ditetapkan yaitu 50% populasi kunci baru yang bisa dijangkau dalam kegiatan pencegahan HIV dan AIDS. Populasi kunci yang dimaksud yaitu ibu rumah tangga, wiraswasta HIV+, LSL, Waria, pekerja seks, sopir dan ojek online. Ada 14 kegiatan pencegahan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta, berupa pendidikan, workshop, pelatihan, pertemuan, kampanye, dan 12 kegiatan diantaranya melibatkan populasi kunci tersebut.
Grafik Prosentase Jumlah Kegiatan Pencegahan HIV dan AIDS yang Menjangkau Populasi Kunci Baru
Indikator strategi pencegahan secara biomedical yang ditargetkan dalam program yaitu: Pertama, pada akhir Juni 2022 jumlah ODHIV yang putus terapi ARV menurun 30% (berdasarkan baseline-endline); Kedua, pada akhir Juni 2022 jumlah Puskesmas dan rumah sakit yang menyelenggarakan layanan kesehatan terpadu berkelanjutan untuk ODHIV meningkat dari 55% menjadi 70% atau sebelumnya 6 menjadi 8 layanan dari total 11 layanan yang ada di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta.
Target penurunan jumlah ODHIV yang putus terapi ARV sebesar 30%, sampai dengan akhir 2021 tidak bisa terpenuhi dengan berbagai kendala. Berdasar baseline pada 2019, jumlah ODHIV yang putus terapi ARV di Kabupaten Belu sebanyak 20 orang meningkat menjadi 24 orang di akhir 2021, artinya terjadi peningkatan sebesar 20%. Sedangkan di Kota Yogyakarta, jumlah ODHIV yang putus terapi ARV di akhir 2021 meningkat sebesar 280% dari angka baseline tahun 2019 sebanyak 108 menjadi 411 orang.
Jumlah kasus LFU di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu cenderung meningkat karena laporan Sistem Pelaporan HIV dan AIDS (SIHA) yang menjadi sistem resmi Kementerian Kesehatan RI sifatnya akumulatif dan tidak mengakomodasi jumlah ODHIV yang kembali rutin minum ARV dan meninggal dan rujuk keluar. Dengan demikian project ini mendorong untuk rutin melakukan validasi data bagi rumah sakit dan Puskesmas, Dinas kesehatan dan pendukung Sebaya untuk mendapatkan data LFU yang murni.
Jumlah kasus LFU di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta terus mengalami peningkatan selama pandemi covid-19. Kenaikan jumlah kasus LFU ini terjadi karena ODHIV mengalami kecemasan dan ketakutan mengakses ARV di layanan kesehatan meskipun sudah diantisipasi dengan bantuan dari Pendukung Sebaya dan Pengelola Program HIV Puskesmas untuk mengambilkan obat. Selain itu, proses verifikasi data kasus LFU tidak berjalan dengan optimal sehingga banyak ODHIV yang tidak mengambil ARV karena meninggal atau rujuk keluar tidak terlaporkan ke layanan kesehatan sehingga dianggap LFU. Hasil monitoring internal menunjukkan bahwa ODHIV yang aktif dalam kegiatan KDS ternyata patuh minum ARV. Bahkan, anggota KDS mendampingi ODHIV yang LFU untuk kembali minum ARV. Berdasarkan data ODHIV yang didampingi di Kota Yogyakarta, dari 160 ODHIV (84 laki-laki, 25 perempuan, dan 51 transgender), ada 12 orang yang sebelumnya LFU sudah kembali ART. Selebihnya, sebanyak 143 orang masih melakukan terapi ARV dan 4 orang masih LFU. Artinya, ada penurunan kasus LFU dari 16 orang menjadi 4 orang atau terjadi penurunan kasus sebesar 75%.
Khusus di Kota Yogyakarta, berdasarkan data yang diberikan oleh layanan kesehatan, dari jumlah kasus LFU yang ditemukan hanya sebanyak 13% yang bertempat tinggal di dalam kota, sedangkan 87% tinggal di luar kota. Banyaknya pasien yang tinggal di luar Kota Yogyakarta ini menjadi tantangan tersendiri dalam kepatuhan pengambilan ARV di layanan kesehatan.
Grafik Data Jumlah Kasus LFU
Pencapaian indikator penambahan jumlah Puskesmas dan Rumah Sakit yang menyelenggarakan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dari 6 menjadi 8 layanan sampai tahun kedua baru bertambah 1 layanan yaitu RSUD Atambua. Meski RSUD Atambua sebelum intervensi program sudah memberikan layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP), namun dengan adanya Pelatihan Konselor Lay Support dan VCT bagi Tim AIDS rumah sakit menambah kemampuan petugas untuk memberikan layanan sesuai standar LKB. Ada rencana penambahan layanan LKB di Rumah Sakit Marianum Halilulik yang sudah membentuk tim PDP, dan memiliki legalitas dalam bentuk Surat Keputusan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Belu. Tim AIDS RS Marianum Halilulik direncanakan melakukan magang di RSUD Atambua. Saat ini, RS Marianum Halilulik sudah melakukan pelayanan VCT dan rawat inap bagi ODHIV. Selain itu, ada 4 Puskesmas (Atapupu, Atambua Selatan, Haikesak dan Weluli) di Kabupaten Belu yang dipersiapkan untuk menjadi satelit layanan PDP.
Layanan LKB di Kota Yogyakarta yang menjadi mitra program ada sebanyak 6 layanan terdiri dari 4 Puskesmas (Gedongtengen, Umbulharjo I, Mantrijeron, Tegalrejo) dan 2 Rumah Sakit (RSUD Kota Yogyakarta dan RS Bethesda). Melalui program ini petugas di 6 layanan LKB tersebut mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas berupa Pelatihan Konseling Pra ARV dan Monitoring ARV serta Pemeriksaan Infeksi Menular Seksual.
Indikator strategi pencegahan melalui perilaku yang ditetapkan dalam program yaitu: Pertama, hingga akhir Juni 2022 ada 50% atau 8 dari 16 WPA yang baru didirikan berperan aktif dalam membangun dan menerapkan dukungan sosial untuk memerangi stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHIV dan pencegahan infeksi baru HIV; Kedua, hingga Juni 2022, 30% atau 45 dari 150 orang dari jumlah ODHIV di daerah sasaran secara aktif terlibat dalam KDS.
Pencapaian bermakna peran aktif WPA dalam membangun dan menerapkan dukungan sosial untuk memerangi stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHIV dan pencegahan infeksi baru HIV, jika di tahun pertama jumlah WPA yang aktif sebanyak 10 kelompok dan di akhir 2021 meningkat menjadi 14 kelompok. Pencapaian ini sudah melebihi target indikator yang ditetapkan yaitu 8 kelompok dari 16 WPA yang berhasil dibentuk. Rincian WPA yang aktif sampai dengan bulan Juni 2021 untuk wilayah Kota Yogyakarta sebanyak 7 kelompok dan di Kabupaten Belu sebanyak 7 kelompok. Artinya masih ada 2 kelompok WPA yang belum aktif sesuai dengan kriteria keaktifan, yaitu masing-masing 1 WPA di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu.
Keaktifan WPA ini dapat dilihat dari peran WPA dalam advokasi anggaran, penjangkauan dan pemetaan kelompok risiko tinggi, pendampingan keluarga ODHIV, memotivasi dan mendampingi orang yang mau tes HIV dan pemeriksaan IMS. Secara rinci kegiatan yang dilakukan oleh WPA di Kota Yogyakarta untuk pengurangan stigma dan diskriminasi dan pencegahan infeksi baru HIV yaitu melakukan advokasi anggaran tingkat kelurahan melalui loby kepada pemangku kepentingan, menjadi tim perumus dalam Musyawarah Rencana Pembangunan, ikut aktif dalam lomba administrasi antar kelurahan, pemetaan lokasi risiko tinggi infeksi HIV dan memberi edukasi pada kelompok risiko tinggi, melakukan pendampingan keluarga ODHIV kerjasama dengan pendukung sebaya, melakukan replikasi kegiatan di wilayah lain.
Kegiatan yang dilakukan oleh WPA untuk pengurangan stigma dan diskriminasi dan pencegahan infeksi baru HIV di Kabupaten Belu yaitu advokasi anggaran di kelurahan, mengorganisir Pendidikan HIV dan AIDS, memotivasi dan mendampingi orang yang mau tes HIV melalui layanan mobile VCT, mengorganisir peserta untuk melakukan pemeriksaan IMS dan pendampingan ODHIV.
Grafik Data Jumlah WPA yang Aktif
Pencapaian indikator jumlah ODHIV yang aktif dalam kegiatan KDS sudah melebihi target yang ditetapkan, yaitu sebanyak 192 orang dari 45 orang yang direncanakan. Dalam hal ini secara prosentase ada 128% ODHIV yang aktif jika dibandingkan data awal sebanyak 150 orang. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun pertama sebanyak 149 orang. Peningkatan jumlah untuk ODHIV yang berada di Kabupaten Belu yaitu dari 23 orang di tahun pertama menjadi 70 orang di akhir 2021. Sedangkan di Kota Yogyakarta jumlah ODHIV yang aktif di KDS di akhir tahun 2021 sebanyak 122 orang.
Kegiatan yang dilakukan oleh ODHIV di Kota Yogyakarta yaitu melakukan pendidikan HIV dan AIDS, pendampingan kasus stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV, advokasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta ketersediaan ARV dan kondom, aktif dalam pertemuan KDS, sebagai pendukung sebaya, berperan dalam memfasilitasi Pendidikan HIV dan AIDS di masyarakat, melakukan pemetaan wilayah risiko tinggi bersama dengan WPA dan sharing pengalaman sebagai ODHIV. Kegiatan yang dilakukan oleh ODHIV di Kabupaten Belu yaitu aktif melakukan penjangkauan, pengorganisasian dan pendampingan ODHIV maupun terlibat dalam kegiatan di masyarakat.
Grafik Data Jumlah ODHIV yang Aktif dalam Kegiatan KDS
Pembelajaran dari Pencapaian Program
Banyak pembelajaran penting dari pencapaian Program Pencegahan Terpadu Penularan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu dan Kota Yogyakarta agar bisa direplikasi dan dikembangkan di tempat lain. Berkaitan dengan kerjasama lintas sektor, pelibatan WPA dan KDS dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta integrasi isu HIV dan AIDS ke dalam setiap kegiatan di masyarakat sangat efektif untuk dilakukan di tengah terbatasnya sumber-sumber daya di pemerintah baik dari sisi anggaran maupun tenaga serta mempersiapkan keberlanjutan program. Misalnya, advokasi anggaran dan kebijakan strategis terkait program HIV dan AIDS perlu dilakukan tidak hanya dengan eksekutif tetapi juga dengan legislatif. Oleh karena itu, pendekatan ke legislatif melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD menjadi pilihan strategis selain pendekatan ke eksekutif. Penggunaan metode SALT untuk mengidentifikasi potensi dan harapan dari ODHIV, OHIDHA serta masyarakat berisiko yang selanjutnya dirumuskan dalam bentuk Rencana Aksi Desa (RAD) juga mampu memberikan bekal bagi WPA untuk melakukan advokasi anggaran dan merancang kegiatan.
Intervensi project dengan melibatkan ODHIV dan keluarga serta komponen kunci di komunitas menghasilkan penerimaan sosial terhadap keberadaan ODHIV, meningkatkan kepercayaan diri anggota KDS dan WPA, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencegah penularan HIV dan mengurangi stigma dan diskriminasi. Namun demikian upaya ini harus tetap dilaksanakan secara kontinyu dan mandiri dengan berbagai media yang dapat diakses oleh masyarakat. Program ini juga melakukan intervensi untuk peningkatan kapasitas bagi WPA dan KDS dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dalam bentuk pertemuan, workshop, pendidikan dan lainnya yang dinilai cukup efektif untuk menunjang kemandirian dan keberlanjutan program.
Alasan utama ODHIV melakukan LFU adalah lebih kepada persoalan psikologis (malu, belum bisa menerima statusnya, merasa tidak didukung oleh keluarga, stres, cemas karena pandemi, dll). Pendampingan secara holistik (psikologis, pendekatan melalui pendukung sebaya, konseling individu) serta dukungan dari keluarga menjadi faktor kunci ODHIV bisa menerima statusnya dan kembali minum ARV.
Pembelajaran lain yang bisa didapatkan yaitu adanya koordinasi rutin antara penyedia layanan ARV (Rumah Sakit dan Puskesmas) dengan LSM terkait, serta penguatan KDS dan WPA baik organisasi maupun sumberdaya manusia dapat membantu mempercepat proses pemuktahiran data dan mencegah LFU selain dalam penjangkauan, pengorganisasian, pendampingan dan advokasi hak-hak ODHIV maupun meningkatkan kualitas hidup ODHIV. Pelibatan ODHIV dan keluarga juga menjadi faktor kunci terhadap penerimaan sosial ODHIV di masyarakat sehingga mengurangi stigma dan diskriminasi, mencegah transmisi HIV, mencegah lost to follow up (LFU) dan meningkatkan kualitas hidup ODHIV.
Dari sisi kesetaraan gender, pendekatan formal kepada Pemerintah Desa/Kelurahan dan pendekatan personal ke tokoh-tokoh lokal, membuat anggota WPA dan penerima manfaat program cukup beragam, baik perempuan, laki-laki maupun transgender. Anggota WPA aktif dalam kegiatan-kegiatan, antara lain ikut aktif memberikan masukan atau pendapat saat pertemuan, baik di tingkat desa/kelurahan maupun pertemuan stakeholder. Secara khusus, anggota WPA di Kabupaten Belu didominasi oleh perempuan dan berperan aktif dalam berbagai aktivitas sosialisasi di masyarakat maupun pendampingan terhadap ODHIV. Sementara anggota WPA di Kota Yogyakarta cukup berimbang antara laki-laki dan perempuan, bahkan ada anggota WPA dari transgender. Sementara dilihat dari penerima manfaat di tingkat Desa/Kelurahan dan komunitas juga beragam dilihat dari jumlah perempuan sebanyak 756 orang, laki-laki 229 orang dan transpuan 61 orang.