Lokalatih Layanan Ramah di Posyandu Lewa Tidahu
Juli 4, 2023Tetap Berjuang di Masa Pandemin COVID-19
November 20, 2023TANTANGAN MENUJU THREE ZERO DI KABUPATEN BELU DAN KOTA YOGYAKARTA
HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) masih menjadi salah satu perhatian dunia dan menjadi prioritas untuk segera dieliminasi. Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan memasukkan HIV dan AIDS dalam indikator tujuan butir 3 yaitu memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua orang. Indikatornya, pada tahun 2030 mengakhiri epidemi AIDS, Tuberkulosis, Malaria, dan penyakit kronis lainnya.
Data di tahun 2019 secara global menunjukkan sekitar 38 juta orang hidup dengan HIV. 36,2 juta diantaranya usia produktif, 19,2 juta merupakan perempuan usia di atas 15 tahun dan sekitar 1,8 juta anak-anak di bawah usia 15 tahun. Infeksi baru diperkirakan sekitar 1,7 juta terdiri dari 1,5 juta usia produktif dan 150.000 anak-anak di bawah 15 tahun. Di kawasan Asia dan Asia Pasifik di tahun yang sama terdapat 5,8 juta orang yang hidup dengan HIV. Sekitar 5,7 juta diantaranya adalah usia produktif, 2,1 juta perempuan di atas 15 tahun dan 140.000 anak-anak di bawah 15 tahun. Sementara infeksi baru dalam 1 tahun terdapat 300.000 kasus, 280.000 diantaranya usia produktif dan 15.000 anak-anak di bawah usia 15 tahun. China, India dan Indonesia mencatatkan hampir ¾ dari total jumlah orang yang hidup dengan HIV di Asia dan Asia pasifik.
Berdasarkan data UNAIDS tahun 2020, secara global dan regional terjadi penurunan infeksi baru HIV sejak tahun 2000 sampai 2010. Namun, selama 9 tahun terakhir berdasarkan laporan, kecenderungan penurunan kasus baru HIV ini terhenti. Sebaran kasus infeksi baru HIV 98% terjadi di populasi kunci dan pasangannya.
Sebanyak 44% diantaranya terjadi pada laki-laki seks dengan laki-laki (LSL), 21% terjadi pada pelanggan pekerja seks dan pasangannya, 17 % terjadi pada pengguna narkoba suntik. Sementara sekitar 9% terjadi pada pekerja seks, 7% transgender dan 2% pada populasi lainnya.
Perlu upaya khusus untuk memutus rantai transmisi HIV sehingga kasus baru tidak terjadi dan penanganan terhadap mereka yang sudah terinfeksi agar tidak terjadi kematian karena AIDS serta meningkatkan kualitas hidup orang yang hidup dengan HIV. UNAIDS bersama beberapa organisasi mitra mensponsori acara di Markas Besar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan tema Getting To Zero : strategi mengatasi stigma dan diskriminasi terkait HIV pada 29 November 2012 yang kemudian menjadikan Three Zero yaitu tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian karena AIDS dan tidak ada diskriminasi terhadap ODHIV sebagai tema Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun 2012.
Negara-negara anggota PBB juga telah membuat kesepakatan strategi percepatan (The Fast-track Commitment) untuk mengakhiri epidemi AIDS dengan target 90-90-90 di tahun 2030. Target ini dimaksudkan untuk mencapai 90% orang mengetahui status HIV melalui tes atau deteksi dini, 90% dari ODHIV yang mengetahui status HIV memulai terapi pengobatan Anti Retroviral (ARV), dan 90% ODHIV yang telah diterapi ARV mengalami penurunan jumlah virus hingga tidak terdeteksi. Target dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS ini cukup penting mengingat hampir separuh dari populasi kunci tidak mengetahui status HIV nya, namun melalui tes HIV yang dilakukan di layanan kesehatan maupun secara mandiri dapat meningkatkan jumlah orang yang terdiagnosis HIV. Demikian juga capaian terapi ARV pada umumnya masih rendah. Secara global orang dengan HIV yang menerima terapi ARV baru sekitar 66,8%, sementara di kawasan Asia dan Asia Pasifik capaiannya lebih rendah yaitu sekitar 60,3%. Kepatuhan minum ARV juga menjadi bagian penting dalam penanggulangan HIV dan AIDS untuk mencapai viral load tidak terdeteksi sehingga orang tersebut tidak dapat menularkan HIV kepada pasangan seksualnya yang disebut istilah Undetectable=Untransmittable (U=U).
Bagaimana Kondisi di Indonesia?
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia untuk mencapai Three Zero di tahun 2030 masih menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan estimasi dan proyeksi epidemi HIV, diperkirakan jumlah ODHIV di Indonesia tahun 2020 sebanyak 543.100 orang. Populasi perempuan bukan populasi kunci masih memberikan kontribusi terbesar terhadap proyeksi jumlah infeksi baru HIV hingga tahun 2020-2024 (35.400 atau 35% dari total proyeksi infeksi baru), diikuti oleh populasi LSL (35.200 atau 35%), Pelanggan Pekerja Seks (14.00 atau 14%), laki-laki bukan populasi kunci (11.900 atau 12%), WPS (3.400 atau 3%), Penasun (1.400 atau 1%) dan Waria (500 atau 0,5%).
Sejak pertama kali ditemukan 1 April 1987, kasus HIV dan AIDS terus bertambah dan sampai 25 Maret 2021 secara kumulatif, kasus HIV di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 427.201, sedangkan jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sampai dengan Maret 2021 sebanyak 131.417. Sebanyak 365.289 ODHIV (67%) masih hidup dan sebanyak 61.192 orang meninggal. Berdasarkan data per Maret 2021, jumlah ODHIV yang sedang mendapatkan pengobatan sebanyak 144.632 orang (27%) dari target 81%. Jumlah ODHIV yang sedang mendapatkan pengobatan yang dites Viral Load minimum setelah 6 bulan pengobatan ARV sebanyak 47.363 orang, dengan hasil Viral Load tersupresi sebanyak 41.754 orang (8%) dari target 73%.
Berdasar data yang diambil pada Mei 2021, jumlah ODHIV yang ditemukan pada periode Januari – Maret 2021 sebanyak 7.650 orang dari 810.846 orang yang dites HIV dan ODHIV yang mulai ART pada periode yang sama sebanyak 6.762 orang. Jumlah orang yang terinfeksi positif HIV pada periode Januari – Maret 2021 ini sebagian besar pada kelompok umur 25 – 49 tahun (71,3%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (16,3%) dan kelompok umur ≥ 50 tahun (7,9%). Berdasar jenis kelamin, ODHIV laki-laki sebesar 69% dan perempuan 31% dengan rasio laki-laki dan perempuan 5:3. Data terbaru tersebut juga menunjukkan, faktor risiko transmisi HIV di Indonesia sebanyak 27,2% melalui hubungan homoseksual yang berasal dari populasi LSL (26,3%) dan waria (0,9%). Faktor risiko melalui hubungan seks heteroseksual tidak aman sebanyak 13,0%, penggunaan jarum suntik yang tercemar darah yang mengandung HIV (karena penggunaan alat suntik secara bersama di antara para pengguna Napza suntikan) sebanyak 0,5%, lain-lain sebanyak 8,8% dan tidak ketahui sebanyak 50,4%.
Kasus yang dilaporkan ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV dan AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya banyak kasus yang belum terungkap ke permukaan oleh karena berbagai kendala dalam penemuan kasus, antara lain karena masih tingginya stigma di masyarakat terhadap orang yang terinfeksi HIV.
Pengaruh Pandemi terhadap Pengendalian HIV dan AIDS
Selama pandemi covid-19 melanda, program penanggulangan HIV dan AIDS termasuk menanggung dampak nyata, antara lain menyangkut ketersediaan ARV, akses ARV bagi ODHIV, transmisi covid-19 ke ODHIV, serta alokasi anggaran untuk program HIV dan AIDS yang dialihkan untuk mengatasi covid-19. Pelayanan ARV berdasarkan ketentuan, idealnya diberikan sebulan sekali untuk mengurangi kedatangan ODHIV ke rumah sakit di masa pandemi. Begitupun dengan akses layanan kesehatan lainnya bagi ODHIV diberlakukan protokol kesehatan untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. Namun, nyatanya sempat terjadi keterbatasan ketersediaan ARV karena pengiriman yang tidak tepat waktu akibat penutupan layanan transportasi dari negara pemasok.
Penularan Covid-19 juga menjadi perhatian khusus bagi ODHIV sebab mereka merupakan bagian dari kelompok yang rentan akibat kekebalan tubuhnya menurun karena adanya infeksi HIV. Para ahli menyebutkan Covid-19 dapat menimbulkan komplikasi berat pada pasien yang fungsi kekebalan tubuhnya menurun, apalagi jikalau ODHIV tidak minum ARV secara rutin yang mengakibatkan jumlah virus meningkat dan sel darah putih (CD4) rendah. Di sisi lain banyak anggaran pemerintah, termasuk untuk program HIV dan AIDS, yang dipotong atau dialihkan untuk penanggulangan covid-19.
Dampak pandemi covid-19 menjadi pemicu bagi petugas kesehatan untuk merubah metode dalam pemberian layanan penanganan HIV dan AIDS, misalnya layanan konseling tes HIV dilakukan secara online, distribusi ARV melalui jasa kurir atau diambilkan oleh pendukung sebaya untuk mengurangi interaksi ODHIV dengan layanan kesehatan. Selain itu layanan kesehatan terutama di Puskesmas melakukan perubahan jadwal layanan dan layanan konsultasi langsung pada ODHIV harus ada kesepakatan waktu dengan dokter terlebih dahulu. Pertemuan-pertemuan sosialisasi HIV dan AIDS juga sempat terhambat karena adanya pembatasan aktifitas masyarakat di masa pandemi, sehingga pengumpulan orang dalam pertemuan tatap muka dibatasi pesertanya.
Tetap Mengupayakan Pencegahan Terpadu
Program penanggulangan terpadu HIV dan AIDS yang dijalankan UPKM/CD Bethesda YAKKUM sempat terimbas adanya pandemi covid-19, terutama berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi aktifitas masyarakat dan refocusing anggaran. Namun, program masih berjalan dengan penerapan strategi implementasi menyesuaikan kondisi pandemi. Beberapa kegiatan untuk mengatasi adanya kebijakan refocusing anggaran antara lain dengan melakukan lobi dan koordinasi ke pemangku kepentingan untuk mengupayakan tetap adanya anggaran khusus untuk isu HIV dan AIDS, baik di Belu maupun di Yogyakarta sebagai wilayah intervansi program. Upaya ini menunjukkan keberhasilan, bahkan peningkatan alokasi anggaran untuk program HIV dan AIDS terutama di Kabupaten Belu. Sementara untuk mengatasi kasus putus minum ARV atau Lost to Follow Up (LFU) yang terus meningkat, UPKM/CD Bethesda YAKKUM tetap mengupayakan adanya koordinasi dengan layanan kesehatan dan Pendukung Sebaya. Kegiatan yang dilakukan antara lain : (1) Sinkronisasi data LFU antara layanan, RS dan Pendukung Sebaya; (2) Layanan konseling dan sharing penguatan kepada ODHIV dalam pertemuan dan pendidikan yang dilakukan oleh Kelompok Peduli Pita Merah; dan (3) Penjangkauan dan kunjungan ke rumah ODHIV.
Kegiatan Melalui Daring dan Luring
Meski kasus covid-19 masih belum hilang, namun sebagian besar kegiatan sudah dilakukan secara luring (tatap muka langsung) dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan secara daring yaitu: Diskusi online “Sharing Pengalaman Layanan Kesehatan HIV dan AIDS di Masa Pandemi Covid-19” yang melibatkan narasumber dan peserta dari berbagai daerah; Peningkatan Kapasitas Regional tentang Advokasi HIV dan AIDS dalam Masa Pandemi Covid-19; Lokakarya Nasional untuk Memperkuat Advokasi HIV dan AIDS di Indonesia. Sementara kegiatan yang lain dilakukan secara langsung baik di Kabupaten Belu maupun Kota Yogyakarta.
Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan alokasi anggaran program HIV dan AIDS, kegiatan secara detil yaitu : advokasi kebijakan anggaran untuk penanganan HIV dan ADS berbasis komunitas untuk mendukung kerja-kerja Warga Peduli AIDS (WPA) di Kabupaten Belu; Workshop tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS secara terpadu serta berbasis masyarakat di Kabupaten Belu; Pertemuan rutin untuk memantau rencana tindaklanjut implementasi upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS secara terpadu berbasis masyarakat di Kota Yogyakarta; Seminar dan Lokakarya Strategi dan Rencana Aksi Daerah (SRAD) dan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu; Audiensi dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan lurah baru Giwangan; Focus Group Discussion (FGD) untuk memantau implementasi SRAD di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu.
Kegiatan untuk menjangkau kelompok rentan dilakukan melalui pendidikan kesadaran dan perubahan perilaku ibu rumah tangga agar tidak menjadi kelompok rentan. Pendidikan kesadaran dan perubahan perilaku juga dilakukan bagi ibu rumah tangga dan wiraswasta HIV positif, baik di Kabupaten Belu maupun Kota Yogyakarta, agar mudah mengakses ARV dan diterima secara sosial oleh keluarga. Kegiatan lain yang dilakukan adalah penerapan standar pemeriksaan TB dan HIV pada anak di bawah umur 18 tahun di Kabupaten Belu.
Kegiatan untuk peningkatan kualitas hidup ODHIV selama masa pandemi dilakukan secara tatap muka langsung. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain : Pendidikan kesadaran dengan metode coaching dan mentoring serta pendampingan ODHIV dan OHIDHA; training penerimaan diri bagi ODHIV; pertemuan ODHIV dan layanan konseling. Selain itu, program pencegahan HIV di masyarakat juga bisa dijalankan berupa : pelayanan VCT mobile dan pemeriksaan serta pengobatan IMS (Infeksi Menular Seksual) di Kabupaten Belu.
Upaya untuk meningkatkan kualitas layanan HIV di Puskesmas dan Rumah Sakit, baik di Kabupaten Belu maupun Kota Yogyakarta, tetap berjalan secara luring dengan pembatasan peserta dan penerapan protokol kesehatan secara ketat. Kegiatan yang dilaksanakan berupa pelatihan dan workshop yaitu : Workshop optimalisasi sistem Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan strategi meminimalkan Lost to Follow Up (LFU) ARV; Pelatihan konselor lay support (penjangkauan) dan VCT untuk Tim AIDS di Kabupaten Belu; Pelatihan pemeriksaan IMS bagi petugas laboratorium Puskesmas; Pelatihan konseling untuk petugas farmasi (Pra-ARV dan Monitoring ARV). Kegiatan yang melibatkan Tim AIDS Rumah Sakit, khususnya RS Bethesda dan Pendukung Sebaya berupa pertemuan inisiasi koordinasi penyedia layanan kesehatan bagi ODHIV.
Program untuk pencegahan terpadu HIV dan AIDS yang dilaksanakan oleh UPKM/CD Bethesda YAKKUM termasuk menyasar kepada upaya perubahan perilaku di masyarakat. Kegiatan yang bisa berjalan di masa pandemi antara lain : pendidikan HIV dan AIDS melalui pertemuan kampung, pertemuan Karangtaruna, masa orientasi siswa/mahasiswa baru, pembentukan dan pemberdayaan Warga Peduli melalui kegiatan pencegahan umum dan pencegahan infeksi; Pembuatan media pendidikan untuk promosi dan kampanye dengan menjadikan tokoh agama/tokoh adat sebagai role model perubahan perilaku; Kampanye melalui media social dan talkshow melalui radio; dan Peringatan Hari AIDS Sedunia. Secara khusus di Kabupaten Belu, kegiatan bagi Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang relatif masih baru berupa penguatan kapasitas dalam membangun organisasi dan jaringan serta kemampuan melakukan advokasi. Ada juga Pelatihan Teknik Fasilitasi dengan Menggunakan Pendekatan Komunikasi Antar Personal (KAP) yang dilaksanakan di Kota Yogyakarta. Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas WPA dan KDS dalam memfasilitasi kegiatan di tingkat kelurahan dan desa.
KDS di Belu dan Kelompok Peduli HIV AIDS Pita Merah di Yogyakarta secara aktif tetap melakukan penjangkauan pada ODHIV yang putus minum ARV. Mereka juga melakukan kunjungan rumah menggunakan metode SALT bagi ODHIV dan OHIDHA. Hasil kunjungan rumah direfleksikan dan dirumuskan untuk menjadi masukan bagi pemerintah desa/kelurahan sebagai usulan penyusunan program HIV dan AIDS. WPA dan KDS masih terus melakukan pertemuan secara periodik untuk membahas perkembangan organisasi maupun keberlanjutan program. WPA dan KDS juga mendapatkan pelatihan jurnalistik untuk meningkatkan kemampuan menulis dan merumuskan pembelajaran dari kegiatan yang dilakukan. Melalui pelatihan ini peserta bisa berkontribusi terhadap penulisan newsletter yang diterbitkan di masing-masing area.
Kunjungan SALT bagi ODHIV, OHIDHA dan Kelompok Risiko Tinggi
Workshop Hasil Kunjungan SALT
Sebagai upaya khusus untuk respon situasi pandemi Covid-19, kegiatan yang dilakukan berupa pelatihan pembuatan hand sanitizer dan desinfektan, penanaman sayuran organik, pemberian suplemen yang ditujukan bagi Warga Peduli AIDS (WPA), ODHIV, dampingan Yayasan Kebaya dan pemerintah desa/kelurahan serta kecamatan.
Guna memperkuat komitmen pemerintah desa/kelurahan untuk mendukung dan terlibat aktif dalam penanggulangan HIV dan AIDS, program ini juga mengadakan Workshop Peran WPA dan Stakeholder Kelurahan dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Yogyakarta.
Program untuk peningkatan kapasitas Yayasan Kebaya berhasil membuat rencana strategis lembaga dan memberikan pelatihan pengelolaan keuangan serta manajemen organisasi. UPKM/CD Bethesda YAKKUM juga memberikan dukungan pada Yayasan Kebaya dalam aktivitas untuk pencegahan penularan dan pendampingan HIV dan AIDS melalui kegiatan support pendampingan akses layanan kesehatan bagi ODHIV Waria dan ODHIV lansia.